Lihat ke Halaman Asli

Anak Bungsu dan Stereotip di Masyarakat

Diperbarui: 19 Maret 2022   23:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anak Bungsu dan Isi Kepalanya. (Ilustrator Ayu)

Kok bisa ada orang yang mikir kalau jadi anak bungsu itu enak?

Orang-orang selalu beranggapan bahwa menjadi anak bungsu itu enak. Pada kenyataannya ga enak-enak amat. Kalau kamu berpikir jadi anak bungsu itu enak, coba kita tukar posisi, yuk. Gak selalu jadi anak bungsu itu enak wahai mba dan mas. 

Stereotipe yang ada menggambarkan anak bungsu sebagai anak yang manja, ceroboh dan juga anak emas. Padahal gak melulu begitu. Sebagai anak bungsu, saya merasa kesal dengan stereotipe yang ada dan harus diluruskan. Saya merangkup beberapa keresahan sebagai anak bungsu dari lima bersaudara.

Hal yang bikin ga enak jadi anak bungsu yang pertama yaitu, jadi bansur alias bahan suruh satu keluarga, yup benar satu keluarga. Disuruh kaka perempuan ke warung dengan alasan gak pakai bra, disuruh ibu lagi masak karena alasan kelupaan beli sesuatu, disuruh kakak laki-laki yang emang pada dasarnya males nauzubillah, belum lagi disuruh bapak buat beli rokok atau kopi ke warung. 

Bukan hanya ke warung, sekedar buang sampah atau jemur handuk basah saja, anak bungsu selalu jadi andalan. Kalau ada upahnya sih gapapa. Udah nyuruh 24/24 tapi, gadapet jajan bulanan. Hadeuh.

Kedua. Selain jadi bahan suruhan yang empuk, anak bungsu selalu menganggung beban kesalahan kakak-kakaknya. Contoh gampangnya sih, kakak nya pernah ketahuan bohong soal bayaran uang sekolah. Imbasnya, anak bungsu selalu dicurigain (padahal anak bungsu, adalah anak paling jujur sedunia).

Ketiga. Anak bungsu menanggung beban buat lebih sukses daripada kakak-kakaknya. Sebagai keluarga yang rata-rata lulusan SMK/sederajat. Anak bungsu yang pendidikannya lebih tinggi sedikit, selalu diharapkan mendapat pekerjaan yang lebih baik dan pastinya mempunyai gaji yang lebih besar dari yang lainnya.

Keempat. Selalu dianggap sebelah mata karena steorotip terhadap bungsu adalah anak yang manja. Sebagai anak bungsu yang apa-apa sendiri, saya merasa tidak terima dengan adanya stereotipe ini. Padahal, kalau melihat alasan pertama, justru yang manja adalah kakak-kakaknya yang menjadikan anak bungsu sebagai bansur.

Kelima. Setelah kakak-kakaknya menikah dan berkeluarga. Anak bungsu lah yang menjadi baby sitter dari kakaknya. Bukan sekedar baby sitter, masih ada alasan lain perkara finansial yang terlalu rumit disebutkan.

Keenam. Setiap ingin berpendapat atau mempunyai ide ngga jarang selalu diremehkan karena masih dianggap sebagai anak kecil walau usia sebenarnya sudah di atas dua puluh tahun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline