Lihat ke Halaman Asli

Jangan Rampas Tanah Adat Kami

Diperbarui: 12 Februari 2022   20:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

lustrasi: www.instagram.com/fadilmlnn

"Kalian saja pergi dari sini, ini tanah kami. Kami lahir di sini. Kami tidak pernah mengganggu kalian. Kenapa kalian selalu mengganggu kami?" ucapku ketika menghadapi sekelompok orang yang rakus akan uang. Hal ini bukan untuk pertama kalinya mereka ingin merampas tanah kami. Sejak saya masih kecil selalu ada orang berkelompok yang tiba-tiba ingin menawar tanah kami. Kami selalu menolaknya karena ini tanah leluhur kami. Tidak peduli mau digantikan oleh uang sebanyak apapun, kami tak akan memberikan tanah kami. Orang-orang seperti mereka sesekali datang dan ingin membeli tanah kami untuk dijadikan kebun kelapa sawit. Namun, kami tidak peduli, mau ada emas di dalam tanah kami, atau harta karun. Kami tidak akan memberikan tanah kami untuk siapa pun.

Saya sudah menyaksikan bapak tua dan ibu tua saya melawan orang-orang yang ingin mengambil tanah leluhur kami sejak kecil. Mereka begitu berani mengusir orang-orang berbadan besar bahkan aparat kepolisan dengan sangat lantang dan saya memutuskan untuk meneruskan amanah bapak menjadi ketua adat dan melindungi tanah leluhur kami. Saya dan masyarakat desa mempunyai jadwal untuk berjaga di malam hari, karena ada saja otak picik manusia serakah yang mengendap ketika malam dan ingin membakar hutan ini secara diam-diam, agar mereka bisa menggusur kami secara paksa.

Saya membagikan kisah tanah adat kami yang terus menjadi incaran pengusaha kebun kelapa sawit ataupun negara kepada seorang jurnalis independen. Saat itu dia memang sedang berkunjung untuk memotret alam.

Ia penasaran dan melempar berbagai pertanyaan. Contohnya seperti:

1. "Sudah berapa lama kami tinggal di tanah ini?"

2. "Apakah ada orang-orang nakal yang mengganggu ketentraman kami di sini?"

Saya bercerita semuanya. Jurnalis itu memberikan saya sebuah kartu nama dan berbicara "Pak, jika sewaktu-waktu ada yang menganggu kalian dan sudah keterlaluan. Tolong hubungi saya, saya ingin membantu bapak dan masyarakat desa untuk tetap bisa hidup di tanah leluhur kalian". Saya menyimpan nomor telepon tersebut.

Sebagai pertanda, perempuan bernama Nadien itu membuat tulisan dengan spidolnya di papan triplek dengan tulisan "KAMI TIDAK AKAN MENJUAL TANAH ADAT KAMI KEPADA SIAPA PUN TERMASUK OLEH NEGARA". Ia menancapkan di batas wilayah desa kami.

...

"Pak, papan yang ditancap di depan ada yang mencoret dan ada bekas jejak kaki" ucap istriku yang membangunkan ku. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline