Cemas dan khawatir. Itulah perasaan yang menggambarkan pertemuan pertama dengan seorang dosen di semester awal perkuliahan yang seringkali dihantui rasa kecemasan dan kekhawatiran. Pengalaman belajar yang jarang dirasakan sebelumnya, ditambah dengan metode pengajaran yang tegas, membuat perasaan tidak nyaman semakin menguat. Namun, seiring berjalannya waktu, persepsi ini berubah drastis, seperti yang dialami di semester keempat perkuliahan ini.
Awal pertemuan saya dengan beliau di semester pertama penuh dengan kecemasan. Setiap masuk ke kelas, saya merasa segan dan gelisah menghadapi pengajaran yang tegas dan tugas-tugas yang tampak sangat menantang. Setiap instruksi dan penugasan terasa seperti beban besar yang harus dipikul. Tidak jarang saya merasa khawatir apakah saya bisa memenuhi ekspektasi yang tinggi dari beliau.
Bagaimana tidak dihantui rasa kecemasan dan kekhawatiran, di saat dosen-dosen yang lain masih memberikan toleransi terlambat untuk masuk ke kelas dan mengikuti perkuliahan, beliau menerapkan aturan untuk mahasiswa yang terlambat dari waktu yang telah ditentukan tidak diperbolehkan untuk mengikuti perkuliahan.
Kasus tersebut tidak sedikit menelan korban, di antaranya banyak teman-teman saya yang terlambat sehingga tidak dapat mengikuti perkuliahan. Jadi, setiap tiba waktunya kelas perkuliahan dengan beliau jiwa dan raga ini selalu dihantui dengan rasa kegelisahan. Mungkin beliau menerapkan aturan tersebut atas dasar bentuk kedisiplinan dan pentingnya menghargai waktu.
Saking segannya, saya pernah berniat untuk tidak memilih beliau pada salah satu mata kuliah di semester keempat ini. Hal ini karena berkaca pada pengalaman semester pertama yang tidak baik-baik saja. Akan tetapi, setelah perdebatan dengan diri sendiri, saya yakin bahwa saya dapat menghadapi dan melalui semuanya.
Namun demikian, kini di semester keempat, perasaan itu telah berubah. Setelah melalui beberapa semester dan lebih mengenal cara kerja serta harapan beliau, saya merasa lebih tenang dan terbiasa. Saya mulai memahami bahwa ketegasan yang diterapkan bukan tanpa alasan. Tugas-tugas yang diberikan memang menuntut kita untuk memutar otak, tetapi hasilnya sangat bermanfaat. Ketika dulu saya merasa tugas-tugas ini hanya memberatkan, sekarang saya melihatnya sebagai tantangan yang mengasah kemampuan berpikir kritis dan analitis saya.
Akan tetapi, beliau tetaplah beliau, dengan mimik wajahnya yang tidak bisa ditebak apakah beliau ini bercanda atau serius ketika berbicara. Bahkan, pada awalnya saya segan untuk menanggapinya, tetapi sekarang saya merasa jauh lebih tenang untuk menanggapinya. Mungkin hal ini juga karena telah terbiasa dengan berbagai bentuk celotehan yang beliau lemparkan.
Metode pengajaran yang tegas dan terstruktur, meski awalnya menakutkan, kini menjadi sesuatu yang saya hargai. Saya mulai menyadari bahwa setiap tugas yang diberikan bukan sekadar beban, tetapi sebuah kesempatan untuk belajar dan berkembang. Kini, saya bahkan merasa senang dan antusias saat menghadapi tugas-tugas tersebut. Tugas-tugas itu tidak hanya menguji kemampuan akademis saya, tetapi juga membantu saya melihat potensi diri yang lebih besar.
Tugas-tuga yang diberikan tersebut banyak berkontribusi dalam pengembangan diri, di antaranya mulai dari menulis berita dan opini hingga membuat podcast. Dengan penugasan tersebut, saya merasa mulai menemukan potensi diri.
Saya jadi mengetahui bagaimana proses pembuatan berita di lapangan dengan mencari isu yang hangat, menyesuaikan narasumber, dan ketepatan dalam penyusunan penulisan struktur berita. Menulis opini dengan memberikan pandangan dan berpikir analitis terhadap suatu hal. Membuat podcast bersama rekan kelompok dengan isu yang menarik untuk diperbincangkan kepada khalayak atau audiens.