Di awal bulan Oktober 2014 ini, kita dikejutkan oleh sebuah kejadian. Apa itu? Kisruh Sidang Paripurna DPR periode yang baru ! Sidang para legislator yang baru saja dilantik itu berlangsung alot. Dengan agenda utama pemilihan pimpinan DPR, sidang berlangsung mulai dari siang hari dan baru usai menjelang pagi hari.
Kita sudah saksikan sendiri. Ada 'oknum-oknum' legislator yang membuat 'kericuhan'. Ya, memang manusiawi. Sidang yang memakan waktu tak sebentar itu memang menguras energi dan membangkitkan emosi. Bisa jadi 'kericuhan' muncul karena mereka sudah lelah, sementara kepentingannya tidak terakomodasi. Tapi... di tengah kelelahan dan suasana penuh emosi itu, apakah mereka tidak berpikir sejenak saja? Tidakkah pikiran mereka berkata, "Hei, aku ini kan wakil rakyat, ditonton banyak orang! Masa' aku tidak memberikan contoh yang baik?"
Banyak pengamat mengomentari. Legislator kita yang baru ternyata belum dewasa, masih kekanak-kanakkan. Belum memahami tata tertib bersidang. Malah, ada juga yang menganggap mereka menjadikan sidang pada malam itu sebagai 'panggung' untuk eksis di layar kaca. Seolah mereka berujar,"Hi, now I'm on TV..."
Terlepas dari berbagai kepentingan mereka yang akhirnya membentuk kubu-kubu, ada baiknya kita mundur sejenak untuk melihat bagaimana pola pendidikan kita selama ini. Secara tidak langsung, pola pendidikan kita turut membentuk wajah DPR sampai hari ini. Setidaknya, kita patut menanyakan dua hal ini. Pertama, apakah pola pendidikan kita telah membentuk kebiasaan untuk mendengarkan secara aktif? Kedua, apakah pola pendidikan kita telah mengajarkan cara berdebat yang baik secara maksimal?
Mendengarkan secara aktif dan berdebat adalah beberapa keterampilan yang diperlukan oleh legislator sebagai 'modal' untuk memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya. Jika mendengarkan secara aktif saja tidak mampu dan berdebat hanya asal-asalan saja tanpa memperhatikan etika dan sopan santun, maka siap-siap saja 'kericuhan' seperti di atas akan terus berulang. Mau??
Semua rakyat, selama tidak dicabut haknya, memiliki kesempatan untuk dipilih menjadi legislator. Oleh karena itu, keterampilan mendengarkan dan berdebat harus diajarkan secara eksplisit kepada anak-anak kita, yang notabene adalah rakyat juga. Kita tidak pernah tahu, siapakah di antara mereka yang kelak akan menjadi legislator di masa depan. Jikalau tidak menjadi legislator, maka dua keterampilan itu akan sangat mereka butuhkan untuk menjalani kehidupan yang 'keras' ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H