Seketika pasir hitam di pantai selatan bersimbah darah. Merahnya terpanggang matahari. Anyirnya terbawa angin. Ombak menepi membasuh tubuh tak bernyawa. Tubuh perempuan muda yang kehilangan kehormatannya menjelang malaikat maut mencabut nyawanya.
Aku berdiri di sini, dengan tangan terikat pada sebatang pohon kelapa berjarak sekitar sepuluh meter dari seonggok tubuh tak bernyawa yang tak lain adalah tubuh Romlah, bungsu kesayanganku. Kurang ajar mereka! Hanya berani pada gadis lemah seperti Romlah. Biadab mereka! Di hadapanku, mereka merenggut kehormataan anak gadisku, lalu menghabisinya.
Semua terjadi begitu cepat, bahkan lebih cepat daripada detak jantungku yang meningkat kala kutahu mereka telah menculik Romlah.
Pagi itu pagi yang biasa. Aku memulai hari dengan shalat Subuh berjamaah di mushala yang hanya berjarak dua rumah dari rumahku. Sepulang dari masjid, Jupri mendahuluiku dengan langkahnya yang terburu-buru.
"Fahri demam tinggi sejak semalam," ujarnya seraya mempercepat langkah.
Saat sosok Jupri menghilang di tikungan, aku membuka pintu rumah yang disambut dengan aroma kopi yang menguar bersama udara pagi. Aku sedang duduk di ruang tengah sambil menyeruput kopi, saat kudengar keluh kesah Romlah kepada ibunya di dapur.
"Bu, nasihati Bapak, nggak usah ikut-ikutan menentang tambang pasir itu. Belum pasti lingkungan bisa diselamatkan, tapi sudah pasti ancaman akan menyerang keluarga kita, terutama Bapak...." Ada getir dan khawatir yang kutangkap dari ucapan bungsuku itu.
"Menasihati ayahmu tak semudah membuat kopi, Nduk. Tekadnya tak hanya kuat, tapi juga bulat," sahut istriku.
Masih dari ruang tengah, aku berdehem, "Ehem...," lalu baru kusambung dengan ucap, "Kalau Bapak disuruh memilih antara kedamaian dan kebenaran, Bapak tetap memilih kebenaran sampai kapan pun."
Setelah menandaskan secangkir kopi, aku beranjak mengambil cangkul dan sabit lalu berangkat ke sawah saat langit timur masih menampakkan semburat kekuningan, tanpa pernah menyadari bahwa percakapan pagi itu adalah percakapan terakhirku dengan Romlah.
Semua masih berjalan seperti biasa, hingga menjelang siang, Romlah tak kunjung datang mengantar sarapan. Ketika libur sekolah seperti ini, Romlah yang menggantikan ibunya mengantar sarapan ke sawah. Aku termenung di pinggir sawah seraya meneguk air putih dari botol. Pikiranku mulai tak tenang saat teringat ancaman orang-orang itu beberapa hari lalu. Sambil mengacungkan celurit, mereka berkata akan berbuat apa saja untuk menyingkirkan orang-orang yang menolak tambang pasir di pesisir pantai selatan.