8 September 2022, alam semesta tengah berkabung. Seorang ratu yang dikenal humble dan merakyat, kini telah berpulang. Siapapun dapat mengenang Ratu Elizabeth II melalui style fashion peninggalannya. Konsep sederhana tapi elegan merupakan ciri khas Sang Ratu. Ia mau mengenakan style sesederhana mungkin di hadapan rakyat meski hakikatnya ia adalah salah satu ratu ternama di jagad raya.
Mengenang Ratu Elizabeth dari segi fashion tentu tak lupa dengan fashion ala pribumi. Yup, thrifting. Budaya fashion yang beberapa pekan lalu membuat gencatan perdebatan. Pasalnya, fenomena ini telah membuat banyak orang menelan ludah. Sehingga banyak pula yang menyayangkan terkait ihwal ini. Bagaimana tidak, pakaian yang diangan akan memberikan untung justru terbalik menjadi buntung. Pihak distributor merugi karyawan pun turut mendapat imbasnya. Mereka nelangsa sebab kepingan-kepinan rupiah yang diharapkan telah raib dimakan api pemerintah. (https://www.kompas.tv/article/318633/apa-salahnya-baju-bekas-impor-sampai-dibakar-begitu)
Dari sudut seorang distributor atau penjual, mereka tentu bertujuan untuk mencari nafkah. Meraup untung sebanyak mungkin agar menjadi usahawan (saudagar) sukses, terlebih menjadi miliarder. Namun untuk kalangan yang lain, peluang usaha menjual pakaian bekas (thrift) dianggap merugikan banyak pihak. Tetapi, apabila kita mau melek sedikit saja, sejatinya mereka ini sudah banyak membantu warga. Mulai dari priyayi-proletar, kaum menengah ke atas hingga kaum menengah ke bawah, miskin dan kaya semua tercakup jadi satu.
Patokan harga yang ditawarkan tak seperti harga semestinya. Target budget pun ramah di kantong. Dengan ini, kaum muda-mudi tentu sangat terbantu. Khalayak muda bisa mengikuti tren arus jaman yang secara fakta kerap menjungkir balikkan keadaan. Meniru style artis yang glamour, meniru gaya para ratu dunia, misalnya. Hal tersebut tentu tak masalah. Yang menjadi masalah adalah ketika ekspektasi tak sesuai realita. Gaya layaknya selebritis, namun kehidupan ekonomi sosial bertolak belakang dengan komunitas yang ditiru. Wong, kadang kala buat makan sehari-hari saja susah. Parahnya hutang belum dibayar. Meminjam kata dari Juslifar M Yunus, gaya bak selebritis tetapi sejatinya kerebritis. Ah, Miris.
Mungkin akan lebih baik jika keinginan untuk tampil keren tersebut di modifikasi dengan konsep sederhana yang dimiliki Ratu Elizabeth. Minimal tentang konsep atau sifat kesederhanaannya saja. Terkait busana juga tidak apa-apa walaupun tak sama brandednya. Umapamanya begini, outfit ala Sang Ratu Elizabeth dipadukan dengan motif batik, tetap beauty kan ?
Dalam hal berpakaian, sejatinya kita bisa menjadi diri sendiri tanpa sama persis dengan yang lain. Tanpa susah payah mentransformasikan roh kita ke dalam roh milik orang lain. Sebab mereka bisa saja acuh tak acuh dengan penampilan yang kita kenakan. Sehingga perlu digaris bawahi bahwa warna-warni duniawiah adalah tak lain sekedar spektrum sinar-sinar saja.
Sangat disayangkan apabila kita selaku manusia yang apabila berjalan lenggak-lenggok, hilir mudik ke sana kemari, seraya mengangkat kepala sambil mengenakan busana mewah, tetapi tanpa peduli sekitarnya. Enggan menoleh ada siapa di atasnya. Enggan turut merangkak bersama dengan manusia yang ada di bawahnya. Setidaknya kita harus punya rasa welas asih walaupun hanya secuil.
Pernahkah sesekali saat mengendarai mobil, kita menengok saudara kita yang berada di bawah kolong jembatan dan di pinggiran jalan? Saudara yang meminta-minta di setiap tikungan jalan apa sudah terjamahkan? Jika belum, maka tanyakan pada hati yang telah terbaluti dengan kain mewah itu. Jadi, alangkah lebih baik jika bersifat tawasuth, mengambil jalan tengah. Tak berlebihan dalam memaknai maupun memakai sesuatu. Artinya, bersyukur dalam entitas kesederhanaan.
Namun demikian, konsep sederhana oleh orang awam kerap misinterpretasi. Sebagaimana di ketahui jika sebuah negara sudah merdeka, seharusnya seorang warga negara menjadi manusia yang merdeka pula. Nyatanya tidak demikian. Sikap sederhana justru berujung dalam mengeksekusi diri, menjerat diri dalam belenggu gengsi. Sehingga perlu di garis bawahi, bahwa manusia merdeka yang sejati adalah saat mindset seseorang itu terbuka lebar. Yakni mau menerima dengan lapang dan mengayomi sesama makhluk Tuhan. Jika kemerdekaan hanya diartikan sebagai kemerdekaan individu, maka sama halnya terbelenggu dalam tamaram kehidupan yang semu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H