Lihat ke Halaman Asli

Lukisan Terakhir untuk Nadine

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Bentukfisik,, kaya dan miskin, status sosialdimata Tuhan adalah sama, yang membedakan manusia di hadapan beliau ialah iman dan takwa kita.

“Cut”, kata seorang sutradara sambil tersenyum sumringah. “wah, akting kamu makin berkualitas, Nad, semoga makin sukses dan makin banyak penggemarnya ya, “ kata seorang wanita setengah baya kepada seorang gadis kira-kira berusia 16 tahunan yang tengah duduk di sampingnya sambil minum. “Akh, Mbak Witri bisa saja, aku masih banyak kekurangan kok, masih perlu asuhan tangan Mbak supaya bisa lebih baik lagi kedepannya”, sambung gadis yang di panggil Nad tadi.

Dialah Nadine Zahra, seorang artis belia yang selalu ramah dan baik kepada semua fansnya, di dalam keseharian, gadis berusia 16 tahun tersebut memiliki banyak kesibukan, sekolah merupakan tugas utamanya, selain itu ada seabrek kegiatan lagi, les vocal, les balet, les viano, bahasa inggris serta setumpuk kegiatan lainnya.

“Nad, ada telepon dari Regina,” kata Witri, manager Nadine yang terkenal ramah dan sangat baik juga. Nadine menerima telepon itu ngobrol beberapa menit dengan si penelepon. “Gimana Nad, Regina ngomong apa??” tanya Witri. “Biasalah mbak, kayak gak tau kak Regina saja, nanya kabarlah, nanya tentang sekolah, kegiatan keartisan, akh jujur aku terkadang bosen denger pertanyaan yang itu-itu saja”, sambung Nadine.“Nad, kamu tidak boleh begitu donk, sayang, Regina itu ngefans banget sama kamu, dia dukung karier kamu, berdoa untuk kamu sepanjang waktu, hargailah sedikit usahanya, jangan kecewakan dia” lembut suara Witri menasehati gadis di sebelahnya. Kasih sayang Witri ke Nadine sangatlah besar, betapa tidak, dari baru mengawali kariernya di usia 3 tahun, Witri sudah menjadi managernya Nadine, jadi dalam kondisi apapun mood gadis itu, Witri bisa membuatnya kembali ceria, Witri selalu menasehatinya agar menjadi lebih baik lagi.

“Iya Mbak, aku akan tetap berusaha, tapi hari ini agak sedikit gak mood, jadi tadi aku jawab teleponnya malas-malasan saja”, kilah Nadine. “Ya, gak apa-apa, Mbak ngerti, lain kali jangan diulangi lagi ya!!!”, ujar Witri

***

Sementara itu, di sebuah tempat yang sangat jauh dari kota Metropolitan Jakarta, di sebuah rumah mewah berukuran besar, seorang gadis berusia kira-kira 20 tahunan tengah duduk sendirian, di hadapannya terbentang sebuah kanvas yang sebagian sudah terisi sketsa lukisan. Samar-samar terlihat goresan garis tipis menyerupai bentuk wajah seorang gadis belia dengan rambut tergerai. Dengan cekatan, kaki gadis tadi menggoreskan kuas diatas kanvas. Meskipun terlahir dengan keterbatasan fisik, Regina itulah nama gadis selalu tegar dalam menghadapi hidupnya, hobynya pada dunia melukis terus digelutinya. Berbagai karya sudah dia hasilkan, sebagian sudah pernah dipamerkan. Saking asiknya melukis, tanpa disadari gadis berambut panjang tersebut, di belakangnya telah berdiri seorang laki-laki paruh bawa, laki-laki itu akhirnya menyentuh pundak Regina, “Gina, istirahat dulu sayang, jangan keasikan melukis, terus lupa akan kesehatan, kamu sudah minum obatnya??, tanya laki-laki itu. “aduh, Papa, bikin kaget saja, Gina tidak memaksakan kok, aku tadi sudah minum obat, Papa gimana tadi di kantor??? Lancar semua kegiatannya??” kata Regina kepada orang tadi yang ternyata papanya sendiri.

Julian Artawan, seorang pengusaha konveksi terkenal tersebut membelai lembut kepala putri tunggalnya, “kegiatan papa hari ini lancar-lancar saja, Nak”. Regina berbalik menghadap papanya, “Pa, Gina boleh minta sesuatu gak?” tanya Regina ke papanya. “Tentu saja boleh, memangnya kamu mau minta apa?”

Percakapan ayah dan anaknya tersebut berlangsung seru, banyak tawa yang tercipta, banyak kenangan yang suatu hari nanti akan terukir dalam ingatan keduanya. Tapi tak pernah seorangpun mengetahui, dibalik keharmonisan keluarga kecil Julian Artawan, tersimpan duka yang mendalam, terutama di hati Julian dan Fira, istrinya. Betapa tidak, anak mereka satu-satunya, Regina Wulandari terlahir dengan kondisi tidak sempurna, kedua tangannya buntung sejak lahir. Disaat hati pasangan suami istri itu telah bisa menerima kenyataan bahwa itulah titipan Tuhan buat mereka, beberapa bulan yang lalu, kembali ketegaran mereka tergoyahkan, Regina di vonis menderita kanker otak stadium 4 dan umurnya tidak akan lama lagi.

Julian Artawan sebenarnya ingin mencarikan pengobatan untuk putrinya, bahkan ingin mengoperasinya, tapi Regina tidak mau, alasannya, bila operasi dilaksanakan, dia belum tentu bisa selamat, “medingan uang papa itu, papa sumbangin ke anak-anak yatim piatu, agar mereka bisa hidup layak seperti Gina” itu selalu yang Regina katakan setiap kali diminta agar mau dioperasi.

***

Waktu cepat sekali berlalu, 2 bulan lagi hari yang paling membahagiakan bagi Nadine Zahra, tanggal 5 Januari 2011, Nadine genap berusia 17 tahun, suatu usia yang paling dinantikan remaja-remaja di muka bumi ini. Witri ingin membuatkan surprise party buat Nadine.

Ketika suatu hari, saat jadwal syuting lagi kosong, Nadine tak ada kegiatan les apapun. Witri pun tak bertemu Nadine seharian ini. Ketika tengah asik menikmati kesendiriannya, hp Witri berdering, nomor tak dikenalmuncul di layar, karena penasaran, Witri mengangkatnya. “Halo dengan siapa ini, apa ada yang bisa saya bantu??” sapa Witri dengan suara ramah. “Halo Mbak Witri” kata suara berat di seberang telepon. Witri kaget, kok orang di ujung telepon ini bisa tahu namanya. Setelah sekian lama mengobrol, Witri pun tersenyum. Entah apa yang mereka berdua bicarakan. “Terima kasih, Pak Julian!” ujar Witri sambil tersenyum penuh arti.

“Door, Mbak Witri kenapa senyum-senyum sendiri?? Kesambet ya?? Baru sehari aja gak bertemu Nadine sudah kesambet,” ujar suara lembut Nadine yang tiba-tiba sudah berdiri di sebelah Witri. “Yah, malah di bilang kesambet, mbak lagi seneng ini, nanti juga Nadine akan kebagian senengnya”, jawab Witri sekenanya.

“Kebahagiaan apa, Mbak??” Nadine penasaran sekali. Meskipun didesak berkali-kali, Witri tak tergoyahkan sedikitpun, dia tetap bungkam tentang kabar menyenangkan yang baru diterimanya. Witri tak menyangka, ada seorang pengusaha yang mau membiayai pesta perayaan ulang tahun Nadine dengan meriah dan acaranya juga bakal besar-besaran.

***

Jemari kaki Regina terlihat cekatan sekali memegang kuas, menorehkan warna-warna indah diatas kanvas di hadapannya. Seperti orang melukis dengan tangan, Regina terlihat tanpa kendala sedikitpun. Terampil sekali kakinya menggores warna merah merona di bibir tipis lukisannya. Lukisan gadis cantik dengan rambut indah tersibak ditiup angin terlihat hampir rampung di hadapannya. Tapi tiba-tiba, seperti ada sesuatu yang menetes dari hidung Regina, karena panik, Regina berusaha menghapusnya, “Ya ampun aku mimisan lagi, Ya Tuhan aku rasa waktuku sudah hampir habis, Tuhan kasih aku waktu beberapa hari lagi untuk menyelesaikan lukisan ini” kata Regina lirih dengan suara tercekat. Regina merasakan kepalanya terasa berat, pusing luar biasa menyerangnya, tapi dia tetap bertahan, dia menorehkan kuas kembali, tapi konsentrasinya telah buyar, sama sekali tak bisa melanjutkan lagi lukisan itu.

Ditengah kondisinya yang sudah melemah, Regina mendekatkan wajahnya ke lukisan di hadapannya, tanpa sadar, bibir Regina menyentuh pipi gadis dalam lukisan itu, tetesan darah dari hidung Regina menempel di lukisannya, Regina hendak menyekanya, tapi tak bisa.

“Maafkan kakak, Nad, kakak tak akan bisa memberikan lukisan ini secara langsung di ulang tahunmu nanti, Kakak sudah tak kuat,” bisik Regina makin melemah. Belum selesai berkata-kata, Regina jatuh pingsan.

“Yah, ampun, Non Reginaaa!!” teriak bik Narti, pembantu setia keluarga Artawan. Mendengar teriakan pembantunya, Julian Artawan dan Fira Artawan bergegas mendekati, dengan cekatan mereka semua melarikan Regina ke rumah sakit. Dalam perjalanan ke rumah sakit, Regina sempat siuman, matanya terbuka, redup sekali. Sambil berusaha bicara, Regina berkata lirih, “Ma, Pa, tolong wujudkan mimpi terbesar dalam hidup Gina, meskipun Regina sudah tak ada nanti, ulang tahun Nadine harus tetap terlaksana”. “Ya sayang, kami janji” jawab kedua orang tuanya.

Setelah menyelesaikan ucapannya, Regina kembali menutup matanya, untuk selamanya di dalam mobil orang tuanya, Tuhan telah memanggil Regina lebih cepat dari vonis dokter, tanpa sempat mendapatkan perawatan medis untuk yang terakhir kalinya.

Jerit tangis membahana mengiringi kepergian Regina, derai air mata tak kuasa dibendung orang-orang terkasih yang merasakan sangat kehilangan. Regina memang cacat fisik, tapi dia terkenal sebagai gadis yang baik, ramah dan berbudi pekerti luhur.

***

Hari kelima di bulan Januari 2011 merupakan hari paling bahagia bagi Nadine Zahra, gadis itu genap berusia 17 tahun”sweet seventeen” orang sering menyebutnya. Sebuah pesta mewah dan megah tergelar, tamu yang hadir sebagian besar dari kalangan atas. Meriah dengan pergelaran musik dan tata cahaya yang luar biasa.

Bak peri dari negeri dongeng, Nadine terlihat begitu anggun dengan gaun berwarna ungu kesukaannya. Acara sudah hampir selesai ketika seorang wanita seumuran mama Nadine menghampiri Nadine yang tengah bersenda gurau bersama kedua orang tua dan orang-orang terdekatnya. Di samping wanita itu terlihat laki-laki tegap berjalan mendampinginya. Witri segera berdiri, menyambut Laki-laki tadi yang ternyata adalah Julian Artawan, “Terima kasih, pak, atas semua ini, benar-benar suatu kehormatan bagi kami semua disini, karena Bapak telah memberikan semua ini untuk Nadine” sambut Witri dengan ramah.

“Oh, terima kasih kembali karena Nadine sudah menjadi penyemangat hidup dan inspirasi buat putri saya”, kata Julian kemudian. “Putri Bapak?? Memangnya kenal sama Nadine juga?” tanya Aldi, papanya Nadine menengahi pembicaraan Witri dan Julian. “Putri saya fans berat putri bapak, namanya Regina Wulandari” mendengar ucapan Julian, Witri tersentak kaget, terlebih lagi Nadine. Mereka berdua baru sadar, sudah sebulan lebih Regina tidak menelepon. Bahkan untuk sms pun tidak ada.

Dalam keheranan, Witri menekan nomor hp Regina, tapi tidak bisa di hubungi. “Mbak Witri mau nelpon siapa?” tanya Fira Artawan yang melihat Witri menelepon dengan gelisah. “Kenapa hp Regina tidak aktif, Bu? Kenapa dia tidak muncul disini, kalau memang dia putri kalian berdua.

Sebagai jawaban, Fira melambaikan tangan pada seorang yang dari tadi berdiri agak jauh dari mereka sambil mengamati sekeliling ruangan pesta. Orang yang dipanggil mendekat dan membawa sesuatu yang lumayan besar ukurannya.

“Ini dari Regina untuk Nadine” ujar Fira. Nadine menerimanya dengan tangan sedikit gemetar, entah kenapa, tumben hatinya keder menerima bingkisan itu. “silahkan di buka biar diketahui isinya,” Julian berkata kemudian.

Dengan tangan yang semakin bergetar, Nadine membuka pembungkus benda itu perlahan-lahan. Terlihat wajah cantik Nadine dengan rambut tergerai di tiup angin.Mata Nadine berkaca-kaca, tangannya meraba lukisan itu, tertulis jelas nama Nadine di sudut bawah lukisan.

Tapi ada satu hal yang terlihat aneh, ada noda merah menempel di bagian pipi lukisan, kental tidak seperti cat air yang biasa di gunakan pelukis. Tangan mungil Nadine merabanya. Maafkan Regina, Nad, lukisan itu ternoda dengan darahnya, Gina berobsesi sekali untuk bisa ketemu kamu, dia ngerjain lukisan itu siang malam, tapi sayang, sebelum kelarlukisan itu, dia yang duluan meninggalkan kami. Jadi maaf kalau lukisannya Cuma setengah jadi’ kata Fira dengan pahit.

Nadine tersentak, “Maksud tante apa? Kak Regina kenapa?”. “Regina sudah pergi, ke rumah Tuhan” bisik Julian juga dengan kepedihan. Mendengar itu semua, Nadine, Witri dan keluarga besar Nadine yang hadir di tempat itu kaget, semua tertunduk kelu, sebelum bisa mewujudkan impiannya, Regina telah berpulang menghadap Tuhan.

Nadine terhenyak, “saya ingin melihat makam kak Regina, saya mau minta maaf karena beberapa bulan yang lalu sempat membentak-bentak kak Regina, cuek dengan apa yang beliautanyakan” kata Nadine sambil terisak.

***

Beberapa hari kemudian, Nadine dan keluarga serta managernya mengunjungi rumah keluarga Julian Artawan. Memasuki sebuah rumah megah yang bernuansa sangat elegan, hati Nadine terasa terisis, ternyata dia telah salah menilai Regina selama ini. Dia mengira Regina mendekatinya hanya karena dia artis, kaya dan karena status sosial orang tuanya yang tinggi. Tapi Regina ternyata jauh lebih berada dari dirinya, anak seorang konglomerat ternama di negeri ini.

Nadine heran, kenapa selama ini Regina tak pernah menceritakan yang sebenarnya tentang dirinya. “Kenapa Kak Regina harus menyembunyikan jati dirinya kepada aku??” gumam Nadine dengan air mata mengambang di pelupuk matanya

“Silahkan masuk Non Nadine, silahkan duduk semuanya,” sapa seorang wanita yang sangat ramah. “Baik, terima kasih banyak” sambung Nadine berserta rombongan.

“Bik, tolong buatkan mereka minum ya!!, Fira yang baru turun dari lantai atas berujar kepada wanita yang mempersilahkan Nadine duduk tadi. “Selamat datang di rumah ini, Pak Aldi, Ibu, Mbak Witri dan juga Nadine, maaf kalau sambutan kami kurang berkenan” ujar Fira ramah.

“Oh, tidak apa-apa, Bu, kami senang ibu berkenan meluangkan waktu untuk kami semua” Aldi yang berinisiatif menjawab kata-kata Fira. Dari dapur, Bik Narti muncul dengan membawa minuman. “Silahkan di nikmati air putihnya, Nyonya, Non” ramah sekali suara perempuan setengah tua itu.

“Itu Pembantu ibu Fira? “ tanya Fina memulai pembicaraan sambil menyeruput minumannya. “Ya, beliau disini sudah saya anggap keluarga sendiri, dari Regina belum lahir, beliau sudah bersama keluarga kami,” jawab Fira juga dengan bersahabat.

Setelah mengobrol lumayan lama, sekalian menunggu Julian Artawan pulang dari kantor, Nadine memberanikan diri mohon ijin hendak melihat-lihat kamar almarhum Regina. “Tante, boleh saya lihat kamarnya Kak Regina?” tanya Nadine sopan sekali. “Oh, tentu saja boleh, ayo sini tante antarkan!” sambil mengandeng lembut tangan Nadine menuju lantai atasFira tersenyum tipis.

Desain kamar itu terlihat elegan, nuansa coklat mendominasi sebagian besar ruangan dalam kamar tersebut. Nadine masuk dengan perasaan penasaran. Di dalam kamar, mata Nadine dimanjakan dengan beraneka pose foto dirinya dalam berbagai acara. “Ya Tuhan, foto saya sebanyak ini di dalam kamar Kak Regina,” ujar Nadine kembali ke Fira. “Yah, begitulah, putri tante sangat mengagumimu, menyayangimu seperti menyayangi dirinya sendiri”, tapi sayang obsesinya untuk menatap Nadine secara langsung tidak pernah terwujud” berlinang air mata Fira menuturkan putrinya yang begitu ingin ketemu Nadine.

Mata Nadine berkeliling, memandang lukisan di dinding kamar yang tertata rapi, sampai akhirnya mata Nadine tertuju pada foto yang terbingkai indah di atas meja, foto seorang gadis berusia kira-kira 20 tahunan dengan rambut sepinggang tergerai, tapi ada satu hal yang aneh, tangan gadis itu buntung. “Ini siapa tante? Tanya Nadine ke Fira yang masih setia menemaninya. “Itu Regina, putri tante satu-satunya”

***

Air mata mengalir deras dari mata Nadine dan juga Witri ketika mereka tiba di sebuah pemakaman umum di Desa tempat Regina, terlihat jelas di depan mata mereka semua, batu nisan yang terawat rapi, bertuliskan nama

“Regina Wulandari Artawan”

Lahir 3 Januari 1990

Wafat 20 Desember 2010

Tangan lembut Nadine meraba nisan, pedih rasa hatinya apalagi setelah tau siapa sebenarnya Regina, kondisi fisik Regina tidak sempurna dari lahir, tapi dia tetap semangat, mewujudkan mimpi-mimpi di dalam hidupnya.

“Kak Regina, apa kakak bisa dengar aku?? Maafkan aku kak, karena sudah membentak-bentak kakak selama ini, aku sudah berprasangka buruk, teramat buruk malah, kata maaf ini belum cukup kak, untuk mengobati luka bathin kakak gara-gara aku. Aku sering cuek, kadang tidak menanggapi sama sekali omongan kakak,” lirih bibir manis Nadine berujar sambil terus mengusap-usap makam Regina.

“Sudahlah Nadine, jangan ditangisi lagi, Regina diatas sana pasti tak pernah menginginkan air mata kamu jatuh, dia sayang sama kamu bukan karena kamu itu artis, selebritis, tapi karena kamu itu anak baik, pantas buat di sayang, pantas buat di dukung, ikhlaskan dia, Nak” ujar Julian sambil mengusap lembut punggung Nadine.

Witri juga tak kuasa menahan tangisnya, 3 tahun kenal Regina sudah membuat banyak kenangan tercipta, berkali-kali Witri memarahi Regina saat pertama Regina mengirim email untuknya. Tapi Regina tak pernah menyerah, setiap minggu email Regina selalu datang, mensupport dirinya dan Nadine. “Maafkan kakak Juga ya Gina” ujar Witri berderai air mata.

***

Suasana di makam yang berlinang air mata telah berganti kini, Nadine telah kembali ke rutinitasnya di kota Metropolitan Jakarta, Nadine berubah drastis semenjak tahu siapa Regina sebenarnya, keramahan Nadine sekarang terlihat tulus, tanpa beban, dukungan dari fans juga terus mengalir, hubungan Nadine dengan fans-fansnya juga sangat akrab, Witri sangat senang melihatnya. Nadine yang dulu terlihat terpaksa meladeni penggemar kini tampak semangat.

“Wah, semangat sekali kamu hari ini Nad,” Witrimenggodanya kala tengah break syuting. “Ya semangat donk mbak, kan aku sudah diajarin semangat dan tulus tanpa pamrih oleh kak Regina” ceria sekali ucapan Nadine. “Syukurlah Nadine, jangan suka berprasangka buruk sama orang lain yang belum kita ketahui jiwanya,” “Ok Mbak juga, jangan merasa bosen menyertai karier Nadine, menjawab pertanyaan para fans Nadine, karena Nadine jadi begini karena mereka.” OK Sayang” Nadine dan Witri berpelukan penuh kasih.

“Terima kasih kak Regina, sudah memberikan aku pelajaran tentang ketulusan, terima kasih telah mendukung aku, selamanya kakak akan ada di hati aku, bukan sebagai fans lagi, tapi sebagai kakaknya Nadine yang paling baik, kakak baik-baik di sana ya” sambil menengadahkan wajahnya kelangit malam yang penuh bintang Nadine berkata.

Kerlip bintang malam bersinar indah, ada satu bintang yang terlihat terang sekali, “Kak Reginaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa” apa yang bersinar indah dilangit itu adalah kakak??? Apa kakak lagi senyum sekarang diatas sana?? Terima kasih ya kak, terima kasih atas semuanya, aku akan menyimpan kenang-kenangan dari kakak dengan baik, menjaganya dengan segenap jiwa aku” teriak Nadine kencang sekali. Tangannya melambai-lambai ke arah bintang-bintang kerlap-kerlip dilangit malam itu, purnama tersenyum menyaksikannya……….

Lahir, hidup dan mati, tak seorangpun bisa tahu kapan itu akan terjadi, lahir di keluarga kaya, terlahir dengan kondisi fisik tidak sempurna itu merupakan hal yang tidak bisa kita hindari, semuanya telah diatur oleh Yang Maha Kuasa, kita semua berawal dari Beliau, dan suatu saat juga akan kembali ke sisi Beliau, di dunia ini kita Cuma sementara, banyak hal yang terkadang terlupa saat kita berada jauh diatas, beruntung, banyak hal yang begitu penting terlupakan, semata-mata karena materi, jadi marilah mulai saat ini, cobalah kita berpikir bukan hanya untuk kepentingan diri sendiri, tapi berpikirlah untuk kebahagiaan orang banyak, niscaya kedamaian dunia akhirat akan terwujud…….

Semoga Tuhan Memberkati dan menuntun semua ciptaanya di bumi ini

THE END




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline