Lihat ke Halaman Asli

Diskriminasi Antara PNS dengan Pegawai Badan Usaha Dalam Implementasi BPJS Kesehatan

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

BPJS Kesehatan menjadi fokus pembicaraan masyarakat luas sebelum Januari 2014 bahkan hingga pasca 1 Januari 2014. Banyak terdapat pro maupun kontra menuai program yang diimplementasikan oleh Pemerintah mengenai BPJS Kesehatan. Sebenarnya, apa BPJS Kesehatan itu?

BPJS Kesehatan merupakan program yang dibentuk oleh Pemerintah untuk menghapuskan fragmentasi tentang bermacam-macam asuransi yang ada di Indonesia, contohnya adalah Askes yang diperuntukkan bagi PNS, Asabri bagi ABRI dan JPK Jamsostek bagi pegawai Badan Usaha.

Lalu, sebenarnya apakah ikut serta BPJS Kesehatan merupakan hal yang penting? Jawabannya adalah singkat, ya penting. Namun, bagaimana kesiapan BPJS Kesehatan dalam mengintegrasikan semua peserta asuransi sebelumnya? Sudah siapkah? Bagaimana kesiapannya?

Tentu banyak orang ingat, bahwa sebelum 1 Januari 2014, Pemerintah dengan BPJS Kesehatan mengatakan bahwa kesiapannya sudah mencapai 99% dalam mengusung program BPJS Kesehatan.

Namun, bagaimana kenyataannya? Apakah benar sudah sesiap itukah? Atau hanya omongan belaka?

Sebelum implementasi BPJS Kesehatan, dikatakan bahwa semua peserta Askes, Asabri, dan JPK Jamsostek adalah secara langsung terintegrasi kepada BPJS Kesehatan. Namun, tidak demikian pada prakteknya.

Memang benar bahwa untuk pegawai PNS yang telah memiliki kartu Askes, secara langsung terintegrasi dengan BPJS Kesehatan. Artinya, PNS tidak perlu mengganti kartu Askes yang telah dimiliki. Dengan kartu Askes sudah secara otomatis menjadi peserta BPJS Kesehatan, sehingga tidak perlu lagi mendaftar.

Namun, berbeda dengan pegawai dari Badan Usaha, khususnnya Badan Usaha Swasta yang harus meregistrasikan badan usaha beserta daftar anggota karyawan dengan keluarga karyawan yang ingin diikutsertakan kepada BPJS Kesehatan, walaupun sebelumnya telah menjadi anggota dari JPK Jamsostek.

Jika dilihat dari sudut pandang Badan Usaha Swasta, tentu hal ini merupakan hal yang sangat merepotkan. Walaupun sebelumnya data telah berada di JPK Jamsostek, namun harus memulai dari nol kembali agar bisa terdaftar dalam BPJS Kesehatan. Setelah mendaftar, pihak Badan Usaha Swasta masih harus menunggu untuk mendapatkan Virtual Account yang digunakan untuk melakukan pembayaran iuran kepada BPJS Kesehatan. Pasalnya, bahwa Virtual Account untuk BPJS Kesehatan, berbeda dengan Jamsostek yang sebelumnya telah dimiliki.

Ternyata perjuangan dari Badan Usaha Swasta belum berakhir walaupun telah mendapatkan Virtual Account BPJS Kesehatan untuk melakukan pembayaran. Pihak Badan Usaha Swasta masih harus menunggu lagi Pihak BPJS Kesehatan untuk menginput data-data karyawan yang didaftarkan bersamaan dengan registrasi Badan Usaha yang melampirkan berkas SIUP, TDP, NPWP dan Surat Keterangan Domisili Perusahaan.

Berdasarkan informasi yang didapatkan dari HRD Badan Usaha, rata-rata mereka mendapatkan kartu identitas BPJS Kesehatan adalah sekitar 2 sampai 3 bulan lamanya. Bahkan ada yang lebih dari 3 bulan. Menyusahkan bukan?

Tentu pihak Badan Usaha Swasta sangat merasa rugi karena iuran yang dibayarkan kepada BPJS Kesehatan bagi Badan Usaha yang bermigrasi dari JPK Jamsostek adalah mulai dari bulan Januari 2014. Sedangkan, kartu JPK Jamsostek hanya berlaku hingga Maret 2014. Lalu, bagaimana nasib dari para karyawan yang belum mendapatkan kartu BPJS Kesehatan padahal kartu JPK Jamsosteknya sudah tidak berlaku lagi?

Jawabannya adalah karyawan mengeluarkan uang dari sakunya sendiri. Kemudian, karyawan meminta penggantian uang (reimbursed) kepada Badan Usaha tempatnya bekerja. Badan Usaha tentu merasa rugi diakibatkan oleh banyaknya karyawan yang meminta penggantian uang karena berobat ke fasilitas kesehatan.

Setelah pihak Badan Usaha Swasta mendesak kepada pihak BPJS Kesehatan agar segera menterbitkan kartu identitas BPJS Kesehatan milik para karyawannya, pihak Badan Usaha Swasta menerima kekecewaan dan ketidakpuasan kembali.

Mengapa demikian? Ya, karena setelah menunggu sekian lama data karyawan beserta keluarga karyawan diinputkan oleh pihak BPJS Kesehatan ternyata untuk kartu identitas BPJS Kesehatan itu sendiri harus dicetak oleh masing-masing Badan Usaha, bukan berupa kartu yang mirip ATM yang dikeluarkan BPJS Kesehatan.

Hal ini sangat memberatkan pihak Badan Usaha Swasta, setelah menunggu proses yang memakan waktu lama dari BPJS Kesehatan, namun kartu identitas peserta hanya berupa kertas selembar HVS yang dicetak dengan tinta hitam-putih. Memang benar, pihak BPJS Kesehatan menerapkan sistem E-ID yaitu untuk identitas BPJS Kesehatan milik peserta dapat dicetak sendiri namun harus dilaminating sendiri agar E-ID tersebut dapat berumur lama.

Jika dilihat dari pihak PNS, PNS sangat mudah menjadi peserta BPJS Kesehatan. Mulai dari segi pendaftaran, registrasi, dan kartu identitasnya itu sendiri. Hal ini tentu menimbulkan kecemburuan bagi pihak Badan Usaha Swasta, padahal mereka sama-sama membayar iuran kepada BPJS Kesehatan. Untuk itu, diperlukan kesetaraan dan keadilan dalam pelayanan yang diberikan oleh BPJS Kesehatan bagi semua pihak peserta baik Badan Usaha, PNS, maupun perorangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline