Semenanjung Korea merupakan bagian dari kekaisaran Jepang sebelum akhirnya terjadi Perang Dunia II yang menyebabkan terpecahnya Semenanjung Korea menjadi dua bagian (Khoiriyah, 2020, p. 66). Wilayah Semenanjung Korea tersebut terbagi sepanjang paralel 38 sehingga berdiri dua negara berdaulat setelahnya yaitu Korea Utara dan Korea Selatan. Dengan terpecahnya wilayah tersebut, konflik dan perang masih terus terjadi antara Korea Utara dan Korea Selatan dalam berbagai aspek.
Kedua negara yang sebelum terjadi perang dunia diharapkan menjadi harapan penyeimbangan kekuatan di Asia Timur sirna ketika perang korea yang pecah pada tahun 1950 hingga 1953. Pada akhirnya perang ini menjadi perang proxy antara Amerika Serikat yang berada di pihak Korea Selatan dan Uni Soviet yang berada di pihak Korea Utara. Keberpihakan kedua kekuatan eksternal saat itu salah satunya dilatarbelakangi oleh persamaan ideologi masing-masing dan menyebabkan adanya eskalasi penggunaan nuklir antara pihak-pihak yang terlibat.
Akibat dari proxy war yang terjadi pada masa perang korea tersebut dapat dilihat dari adanya pola interaksi keamanan yang tidak seimbang antara Amerika Serikat sebagai kekuatan militer terkuat saat ini dan Korea Utara sebagai negara lemah yang memiliki ambisi kuat dalam Nuklir (Al Syahrin, 2018, p. 118). Korea Utara yang sangat berambisi untuk mengembangkan teknologi dan militernya menggunakan nuklir ini menimbulkan kekhawatiran tersendiri terutama bagi negara di sekitarnya seperti Jepang dan Korea Selatan.
Kepemilikan nuklir Korea Utara dianggap mengancam perdamaian dunia dan kestabilan kawasan Asia Timur. Sehingga Banyak negara yang berusaha memberikan pendekatan pada Korea Utara untuk ikut menekan pengembangan, penggunaan dan kepemilikan nuklir. Salah satunya tetap mencoba menarik masuk Korea Utara dalam perjanjian non-proliferasi nuklir atau NPT setelah beberapa kali menolak dan keluar. Sejak adanya rencana pengembangan Nuklir sekitar tahun 1950-an, Republic of Korea (Korea Utara) resmi bergabung dalam keanggotaan International Atomic Energy Agency (Badan Energi Atom Internasional) atau IAEA pada tahun 1957 (IAEA, n.d.). Korea Utara juga ikut menandatangani Perjanjian NPT pada tahun 1985 sebelum akhirnya memutuskan untuk keluar dari perjanjian pada tahun 1993. Amerika Serikat juga berusaha menekan Korea Utara dalam mengembangkan senjata nuklirnya melalui Agreed Framework pada tahun 1994. Akan tetapi, perjanjian tersebut gagal karena isinya dilanggar oleh Korea Utara pada tahun 2002 (Hasugian, 2017).
Sikap tidak setuju yang terjadi terhadap pengembangan, penggunaan dan kepemilikan nuklir oleh Korea Utara juga didasarkan oleh kepentingan nasional negara lain yang terganggu. Hal ini dikarenakan Korea Utara beberapa kali terlihat menjalankan uji coba nuklir dan rudalnya yang ditakutkan akan jatuh ke wilayah teritorial negara lain yang dilewati oleh nuklir maupun rudal tersebut. Kegiatan Uji coba ini dilakukan sejak tahun 2006 hingga saat ini. Pada tahun 2017 Rudal balistik yang diuji cobakan oleh Korea Utara jatuh di wilayah ZEE Jepang sehingga menuai reaksi kemarahan dari pemerintah Jepang (Hasugian, 2017). Dan menurut laporan terbaru dari Korean Central News Agency (KCNA) 2024, Korea Utara telah meluncurkan uji coba rudal hipersonik dengan jangkauan jarak menengah hingga jarak jauh yang menjadi sebuah senjata strategis keunggulan mutlak pertahanan Korea Utara (Christiastuti, 2024). Peluncuran rudal hipersonik tersebut sangat dikecam oleh Korea Selatan, Jepang hingga Inggris karena sangat mengancam stabilitas kawasan dan mengganggu perdamaian dunia.
Berbagai macam sanksi telah dijatuhkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan negara anggota lainnya seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang dan Korea Selatan kepada Korea Utara. Sanksi utamanya berupa sanksi kontra-proliferasi dengan tujuan utama membendung ambisi Korea Utara dalam mengembangkan senjata nuklirnya dan menghentikan kegiatan uji coba nuklir tersebut. Selain itu, karena kepemilikan senjata nuklir dan digunakannya senjata nuklir dalam perang melanggar Hukum Humaniter Internasional karena mengancam keselamatan warga sipil, maka sanksi terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia juga dijatuhkan kepada entitas dan individu. Sanksi itu berupa pembatasan ekonomi dan pembatasan perjalanan keluar negeri bagi para pejabat Korea Utara secara bilateral yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa (Human Rights Watch, 2018).
Walaupun demikian, tidak sepenuhnya Sanksi ini berhasil membuat Korea Utara takut dan memberhentikan kegiatan mengembangkan senjata serta teknologi nuklir yang dimilikinya. Pasalnya, Korea tetap mengembangkan nuklirnya bahkan lebih mematikan dari sebelumnya. Beberapa pertemuan diplomatis antara kepala negara yang terlibat seperti Joe Biden dari Amerika Serikat dan Kim Jong Un dari Korea Utara juga tidak membuahkan hasil –menghentikan pengembangan nuklir Korea Utara. Sehingga hingga saat ini PBB dan beberapa anggotanya masih berupaya memberikan pendekatan terbaik diluar sanksi yang telah dijatuhkan untuk menghentikan pengembangan nuklir Korea Utara untuk menjaga perdamaian dunia dan kestabilan kawasan.
Referensi:
Al Syahrin, M. N. (2018). Logika Dilema Keamanan Asia Timur dan Rasionalitas Pengembangan Senjata Nuklir Korea Utara. Intermestic: Journal of International Studies, 2(2), 116. https://doi.org/10.24198/intermestic.v2n2.2
Christiastuti, N. (2024, April). Korut Berhasil Uji Tembak Rudal Hipersonik terbaru. Detikcom. https://news.detik.com/internasional/d-7275460/korut-berhasil-uji-tembak-rudal-hipersonik-terbaru
Hasugian, M. R. (2017, April 17). Sejarah program senjata nuklir korea utara. TEMPO.CO. https://dunia.tempo.co/read/866883/sejarah-program-senjata-nuklir-korea-utara