Perkembangan yang terjadi di perkotaan turut diikuti dengan peningkatan jumlah penduduk. Di samping semakin meningkatnya jumlah penduduk, perkembangan yang terjadi di perkotaan juga menyebabkan keterbatasan lahan yang berpengaruh pada tingginya harga lahan. Tidak mudah untuk mencari hunian di Kota Surabaya, apalagi bagi mereka yang hidup pas-pasan. Harga lahan di Kota Surabaya sangat tinggi, apalagi di pusat kota.
Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki cukup anggaran? apakah solusi pemekaran kota di sekitar Surabaya menjadi pilihannya. Melonjaknya harga properti mengakibatkan orang-orang yang berpenghasilan rendah semakin terpinggirkan dari pusat Kota Surabaya.
Pola hunian seperti ini dapat mengakibatkan high cost economy, yang ironisnya ditanggung oleh mereka yang hanya punya uang ala kadarnya. Semakin jauh dari pusat kota, berarti semakin besar pula dana yang dikeluarkan untuk menjangkau kota tempat dimana mereka mencari rejeki.
Di tengah langkanya lahan kosong di Kota Surabaya, sudah waktunya Surabaya merubah paradigma hunian kita, salah satunya adalah vertical housing yaitu hunian bertingkat. Vertical housing ini dapat meningkatkan intensitas pendahayagunaan lahan, infrastruktur, perdagangan, perkantoran, rekreasi dan tempat tinggal. Waktupun dapat dimanfaatkan dengan optimal. Warga hanya perlu berjalan kaki untuk sampai tujuan, dan dapat mengurangi kendaraan di jalan.
Berdasarkan masalah lahan dan perumahan, maka pembangunan hunian bertingkat di kota-kota metropolitan, termasuk Kota Surabaya, menjadi salah satu solusi yang baik dalam rangka peremajaan permukiman kumuh ke dalam rumah susun sebagai hunian baru yang lebih layak. Dalam hal ini berarti bahwa pembangunan hunian bertingkat merupakan suatu bentuk perkembangan perumahan dan permukiman yang layak secara vertikal, tidak lagi horisontal yang memakan banyak lahan (landed house).
Bagaimana dengan surabaya, apakah Pemkot dapat merealisasikan konsep vertical housing ini?
Sebenarnya, wacana pembangunan perumahan bertingkat sudah berkembang sejak tahun 1990-an. Bahkan, sejumlah pengembang (developer) yang tergabung dalam Realestat Indonesia (REI) terus memprovokasi pemerintah agar peduli masalah kebutuhan hunian dan mempertimbangkan konsep vertical housing, bahkan tidak sedikit pengembang studi banding ke beberapa negara yang industri propertinya lebih maju dari Indonesia.
Menurut studi banding di Singapura bahwa ada beberapa konsep yang mungkin dapat ditiru dalam pengelolaan rusunawa yaitu terdapat beberapa tipe rumah susun dengan ukuran berbeda yang diperuntukan bagi mereka yang belum berkeluarga dan bagi yang sudah berkeluarga. Apabila diperuntukkan bagi mahasiswa di kota-kota besar dapat lebih menguntungkan. Berkaitan hal itu pemerintah akan mensosialisasikan kepada generasi muda bahwa untuk punya rumah tidak perlu harus memiliki tanah. Pengelolaan rusunawa di Singapura didukung pola pendanaan yang memungkinkan harga yang murah. Apakah hal ini dapat diterapkan di Surabaya? Rusunawa di sekitar pusat kota dengan harga yang terjangkau.
Sekarang bagaimana kita mendorong dan menyemangati pemerintah dalam memenuhi kebutuhan hunian dalam menerapkan konsep hunian bertingkat seperti membangunan rumah-rumah susun di kota-kota besar yang memiliki tingkat kepadatan penduduk relatif tinggi. Hal ini sebagai antisipasi terus menyusutnya luasan dan mahalnya harga tanah di Surabaya akibat maraknya pembangunan perumahan dengan konsep landed housing dan pesatnya industrialisasi dan perdagangan.
Pembangunan perumahan dengan konsep vertical housing merupakan sebuah tuntutan untuk diterapkan di Surabaya sebagai jawaban semakin menipisnya stok lahan untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal warganya. Bagaimana Pemkot dapat memanajemen kotanya dalam mengurangi masalah di perkotaan. Sudah seharusnya konsep hunian vertical dipikirkan lebih serius. Bagaimana langkah-langkah strategis dalam memenuhi kebutuhan hunian masyarakat berpenghasilan pas-pasan dalam menjangkau pusat kota. Perencanaannyapun harus matang, terutama dari segi psikografis dan kultural penghuninya. Umumnya masyarakat lebih suka tinggal di rumah yang luas dengan halaman dan ruang keluarga, sehingga memungkinkan mereka melakukan sosialisasi secara maksimal. Mereka, terutama keluarga besar, merasa kurang nyaman tinggal di apartemen yang space-nya terbatas. Sebaliknya, mereka lebih suka tinggal di rumah dengan konsep landed housing ketimbang vertical housing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H