Selama beberapa dekade terakhir, Iran dan Israel telah terlibat dalam konflik yang tidak langsung yang mencakup spionase, konflik melalui proxy, dan serangan siber. Ambisi nuklir Iran serta dukungannya terhadap kelompok anti-Israel telah menimbulkan respons dari Israel dalam bentuk sabotase dan serangan yang ditargetkan, menambah ketegangan dan permusuhan yang berkelanjutan. Tensi ini mencapai puncaknya dengan serangkaian serangan dan balasan pada April 2024, meningkatkan kemungkinan konflik ini beralih dari perang bayangan menjadi konflik terbuka.
Akar konflik ini dapat ditelusuri ke periode pasca berdirinya Israel pada tahun 1948 dan sebelum Revolusi Iran tahun 1979, di mana hubungan antara kedua negara tersebut, meskipun kompleks, umumnya bersifat kooperatif.
Namun, Revolusi Iran menyebabkan perubahan drastis dalam dinamika ini. Penggulingan Shah dan pendirian Republik Islam mengubah Iran dari sekutu menjadi musuh Israel yang sangat vokal. Rezim baru Iran, yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemerintahan Islam, menolak legitimasi Israel dan menganggapnya sebagai musuh karena dianggap bersekongkol dengan Amerika Serikat. Sejak itu, Iran mulai memberikan dukungan kepada berbagai kelompok bersenjata di Lebanon, Palestina, dan wilayah lain di Timur Tengah, dengan tujuan melawan Israel secara tidak langsung.
Konflik ini tidak dapat disangkal pula melibatkan peran penting dari negara-negara lain. Tiga aktor utama yang secara signifikan mempengaruhi akar konflik ini adalah Amerika Serikat, Rusia, dan Uni Eropa. Amerika Serikat memiliki peran sentral dalam politik Timur Tengah, terutama dalam mendukung Israel dengan bantuan militer, dukungan diplomasi, dan partisipasi dalam proses perdamaian.
Kebijakan AS terhadap Iran, khususnya terkait program nuklirnya, telah meningkatkan ketegangan antara Iran dan Israel. Rusia (sebelumnya Uni Soviet) juga memiliki peran yang signifikan dalam dinamika wilayah tersebut, mendukung berbagai negara dan gerakan sebagai bagian dari strategi geopolitik yang lebih luas.
Dukungan Rusia terhadap Suriah dalam beberapa tahun terakhir, bersama dengan keterlibatannya dalam konflik di sana, telah memperumit hubungan antara Rusia, Iran, dan Israel, mengingat Iran juga mendukung rezim Suriah. Uni Eropa dan negara-negara Eropa lainnya tidak bisa diabaikan dalam politik Timur Tengah. Melalui upaya diplomasi, penerapan sanksi ekonomi, dan peran dalam negosiasi tentang program nuklir Iran, mereka memiliki dampak yang signifikan dalam dinamika wilayah tersebut.
Konflik antara Iran dan Israel yang telah menjadi perbincangan hangat saat ini sebenarnya dapat ditelusuri dari rangkaian konfrontasi tidak langsung, termasuk spionase, konflik melalui proxy, dan serangan siber, yang mencerminkan ambisi nuklir Iran dan dukungannya terhadap kelompok anti-Israel, serta respons Israel dalam bentuk sabotase dan serangan yang ditargetkan.
Konflik ini mencapai puncaknya dengan serangkaian serangan dan balasan pada April 2024, meningkatkan potensi pergeseran dari pertempuran bayangan menjadi konflik terbuka. Akar konflik dapat ditelusuri ke periode pasca-berdirinya Israel dan Revolusi Iran, yang mengubah dinamika hubungan mereka dari kooperatif menjadi musuh. Selain itu, peran Amerika Serikat, Rusia, dan Uni Eropa dalam mengatur politik dan keamanan di kawasan tersebut juga signifikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H