Sejarah panjang pengelolaan hutan di Indonesia secara terorganisir dimulai dengan penetapan Domeinverklaaring yang menyatakan batas kawasan hutan yang ditetapkan untuk dikuasai oleh negara. Konsep ini mendasari pengertian hutan negara yang sampai dengan saat ini tetap dipertahankan. Penetapan Domeinverklaaring ini ditindaklanjuti dengan penetapan houtvesterij (yaitu hutan yang sudah ditata secara tetap) Pembentukan organisasi yang mengelola hutan (jati di Jawa) dilakukan dengan tujuan agar produksi kayu jati terjamin kelestariannya (catatan sejarah menunjukkan bahwa masa-masa sebelumnya kayu jati diambil dari hutan alam). Peremajaan hutan jati mulai dilakukan pada masa pemerintahan Gubernur Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk memperbaiki kondisi kawasan hutan jati yang rusak akibat pengambilan kayu secara besar-besaran pada abad 18-19. Tahun 1835-1840 dilakukan penanaman besar-besaran berdasarkan Staatsblad tahun 1829.Dalam penanaman tersebut, digunakan benih-benih jati dari pohon induk yang berkualitas baik. Seleksi benih jati ini dilakukan untuk memastikan agar kayu jati yang dihasilkan adalah kayu yang berkualitas tinggi, batang lurus dengan batang bebas cabang yang tinggi. Penanaman dilakukan dengan pengawasan yang cukup ketat oleh para mandor, untuk memastikan agar hanya benih berkualitas baik yang ditanam. Pola inilah yang menjadi salah satu cikal bakal pemuliaan tanaman hutan di Indonesia.Dalam perkembangannya, Pemerintah melalui Departemen Kehutanan memastikan agar ketersediaan bibit yang baik tercukupi untuk memenuhi kebutuhan reboisasi dan rehabilitasi hutan dan lahan. Jika sebelumnya penanaman umumnya dilakukan dengan menggunakan benih cabutan dari hutan alam, maka pada periode tahun 1980an, melalui Proyek Inpres Reboisasi dan Penghijauan, pemerintah mendorong petani melalui kelompok tani untuk melakukan penanaman penghijauan di lahan miliknya. Dalam Proyek Penghijauan ini, subsidi antara lain diberikan untuk pembuatan Kebun Bibit Desa (KBD). Upaya ini menjadi cikal bakal terbentuknya mata pencaharian baru di tingkat petani, yaitu sebagai pembuat bibit. Beberapa desa di Kecamatan Kemiri di Kabupaten Purworejo, berkembang sebagai desa penghasil bibit tanaman tahunan yang produknya di kirim sampai ke luar daerah (Sumatera, Kalimantan bahkan Papua). Beberapa jenis tanaman kayu yang dibudidayakan antara lain adalah kaliandra, pinus, gemelina, jambu mete, akasia auriculiformis, aren, bambu, lamtoro, sengon, jati dan lain-lain.
Ketika hasil kayu hutan rakyat mulai diolah, hutan rakyat yang terbangun pada era 1980-1990 an mulai ditebang untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industry pengolah kayu rakyat. Sentra-sentra industry kayu rakyat berkembang di Jawa Tengah, Jawa Barat dnn Jawa Timur. Perkembangan ini mendorong berkembangnya perekonomian pedesaan.
Hasil hutan rakyat (kayu) pada saat itu dianggap sebagai tabungan tanpa modal, mengingat tanaman kayu rakyat yang dipanen adalah jenis-jenis tanaman yang hanya dapat dimanfaatkan kayunya. Panenan kayu ini diikuti dengan kesadaran pemiliknya untuk kembali menanami lahan miliknya dengan tanaman tahunan (kayu). Upaya ini juga didukung dengan mulai timbulnya bantuan bibit kayu dari industry pengolah kayu rakyat kepada petani.
Gerakan menanam kayu dan KBD yang muncul pada era 1990an hingga awal 2000, umumnya masih menggunakan bibut-bibit dari benih asalan. Benih asalan adalah benih dari pohon induk yang tidak terjamin kualitasnya. Kegiatan pemuliaan benih kehutanan pada saat itu belum dianggap penting karena sifat tanaman kayu yang rata-rata umurnya cukup panjang (>5 tahun)
Mulai tahun 2005, Pemerintah cq Kementerian Kehutanan mulai mendorong penggunaan bibit berkualitas dengan mulai melakukan sertifikasi benih tanaman kayu. Meskipun terlambat, tapi Kementerian Kehutanan mengejar langkah Kementerian Pertanian yang telah mensertifikasi jenis-jenis tanaman tahun/perkebunan. Upaya ini berhasil mendorong kesadaran petani untuk menggunakan benih bersertifikat dalam melakukan proses persemaian.
Danisworo, seorang pemerhati kehutanan menginfokan bahwa pada era tersebut, kemudian diluncurkan kegiatan 'seed foor people' dengan kegiatan pembangunan sumber benih, kegiatan pembuatan Kebun Bibit Rakyat (yg konsepnya berbeda dg Kebun Bibit Desa). Perbedaan yang nyata utamanya terkait jenis bibit yang dihasilkan, apabila dalam KBD lebih berfokus pada jenis kayu, maka pada kegiatan KBR, kelompok tani dapat membuat bibit non kayu. Adapun persamaannya adalah, baik KBD maupun KBR merupakan bantuan Pemerintah untuk mendorong kemandirian masyarakat dalam melakukan penghijauan di tanah miliknya.
Pembangunan persemaian permanen yang dimulai sejak tahun 2010 sampai dengan saat ini semakin memudahkan akses masyarakat untuk menanam tanaman tahunan di lahan miliknya. Saat ini ada 54 persemaian permanen yang tersebar di beberapa kota di seluruh Indonesia yang rata-rata menghasilkan 1 juta batang tanaman tahunan/tahun.
Tahun 2020, mulai dibangun persemaian modern dengan kapasitas mencapai 5 juta batang/tahun. Persemaian modern ini antara lain terletak di Rumpin (Bogor), Mandalika (NTB), Labuan Bajo (NTT), Toba (Sumatera Utara), Mentawir (IKN Kaltim), Likupang (Sulawesi Utara) dan Liang Anggang (Kalimantan Selatan). Bibit dari persemaian modern ini diutamakan untuk ditanam di lahan kritis di area sekitar persemaian.
Data Kementerian LHK cq Ditjen PDASRH tahun 2022 menyatakan bahwa total luas lahan kritis di Indonesia adalah seluas 12,7 juta ha (terdiri dari lahan kritis di dalam Kawasan seluas 7,4 juta hektar dan di luar Kawasan seluas 5,3 juta hektar). Dengan asumsi bahwa jumlah bibit yang dihasilkan persemaian permanen semuanya ditanam di lahan kritis, dan semua persemaian permanen berproduksi optimal, maka setiap tahun terdapat + 80 juta batang bibit siap tanam per tahun. Asumsi selanjutnya adalah, untuk mengatasi lahan kritis dibutuhkan tanaman sejumlah 1000 batang/ha. Dengan kata lain, per tahun dapat direhabilitasi 80 ribu hektar lahan kritis, atau membutuhkan >150 tahun untuk mengatasi lahan kritis (catatan; jumlah lahan kritis tidak bertambah setiap tahun)
Angka diatas menunjukkan bahwa tanpa dukungan seluruh pihak, upaya Pemerintah untuk mengatasi lahan kritis akan sangat sulit dilakukan. Dan perlu diingat, bahwa menanam tanaman tahunan tidak selesai dengan kita membuat lobang tanam dan kemudian menanam bibit, tapi pemeliharaan selanjutnya memegang kunci yang tidak kalah pentingnya dari penyediaan bibit berkualitas. Disamping itu, kelembagaan pengelola tanaman hasil rehabilitasi menjadi factor utama penentu keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan, karena mereka lah yang akan bertanggung jawab atas pemeliharaan tanaman hasil rehabilitasi tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H