Lihat ke Halaman Asli

Ayub Wahyudin

Dosen, Bukan Anak dari Trah Ningrat, Maka Menulis untuk menjadikan Hidup Lebih Bermartabat!!

Label Halal, Label Komersial

Diperbarui: 3 Oktober 2024   12:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kreasi Penulis

DALAM beberapa hari terakhir, publik dibuat terperangah oleh kemunculan produk-produk dengan label halal yang tampaknya menantang logika dan moralitas. Bayangkan saja, produk dengan nama-nama seperti "wine," "beer," bahkan "tuyul" dan "tuak" kini mendapat sertifikat halal resmi. Kasus ini sontak memicu kontroversi, bukan hanya tentang aturan halal itu sendiri, melainkan juga bagaimana komodifikasi agama bisa terjadi di tengah tuntutan pasar. Di sinilah pertanyaan besar muncul: apakah stempel halal kini telah terjebak dalam jerat komersialisasi?

Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) telah mengeluarkan klarifikasi yang secara teknis dapat diterima. Mereka menjelaskan bahwa nama "wine" dalam produk kosmetik, misalnya, hanyalah penanda warna, bukan rasa atau aroma minuman beralkohol. Begitu juga dengan istilah "beer" yang merujuk pada minuman tradisional bir pletok, yang dikenal sebagai minuman non-alkohol. Namun, persoalannya tidak sesederhana itu. Dalam masyarakat, kata-kata seperti "wine" dan "beer" sudah terlanjur melekat dengan makna tertentu yang sarat dosa dan kemaksiatan. Di sinilah letak kegelisahan yang muncul di tengah umat.

Dalam dunia semiotik, tanda seperti "wine" dan "beer" berfungsi sebagai signifier (penanda) yang membawa makna (signified) tertentu di benak publik. Nama-nama ini tidak muncul dalam ruang hampa. Secara historis dan budaya, istilah-istilah tersebut sudah diasosiasikan dengan alkohol dan kemaksiatan, sesuatu yang diharamkan dalam ajaran Islam. Ketika nama-nama ini dipadukan dengan label halal, terjadi benturan makna yang tak terhindarkan. Makna halal, yang seharusnya menandai kesucian dan kepatuhan terhadap syariat, seolah diwarnai oleh ambiguitas.

Lebih dari sekadar masalah teknis atau semantik, kasus ini menunjukkan bagaimana sertifikasi halal bisa dijadikan alat komersialisasi yang membingungkan. Istilah "wine" dan "beer," meski diberikan konteks yang berbeda, tetap memanfaatkan daya tarik kultural dan global yang melekat pada istilah tersebut. Apakah ini strategi pemasaran cerdas untuk menarik konsumen Muslim yang ingin tampil modern? Mungkin saja. Namun, di balik itu ada harga yang harus dibayar: erosi makna sertifikasi halal sebagai simbol kepercayaan yang suci.

Dalam dunia yang semakin digerakkan oleh kapital, kita menyaksikan tanda-tanda agama yang sakral diambil alih oleh logika pasar. Sertifikasi halal, yang pada hakikatnya adalah simbol kesucian, mulai terdegradasi menjadi sekadar alat branding untuk meningkatkan daya tarik suatu produk. Istilah "halal" yang seharusnya membawa ketenangan bagi konsumen Muslim kini berpotensi kehilangan esensi spiritualnya, berubah menjadi floating signifier---tanda yang tak lagi memiliki makna yang jelas dan pasti.

Apakah Label Menunjukkan Substansi?

Pertanyaan ini penting untuk kita renungkan, terutama ketika membahas produk, sertifikasi, dan kepercayaan masyarakat. Label, seperti "halal", "organik", atau "ramah lingkungan", seharusnya mewakili esensi produk tersebut. Namun, apakah label selalu mencerminkan substansi yang sebenarnya? Inilah yang sering menjadi bahan perdebatan, terutama dalam isu sertifikasi halal dan label lainnya.

Label adalah representasi formal yang digunakan untuk menegaskan bahwa suatu produk telah melalui proses tertentu dan memenuhi standar yang ditetapkan. Misalnya, label halal menunjukkan bahwa produk tersebut sudah diuji dan diverifikasi oleh lembaga resmi, sehingga dianggap sesuai dengan aturan syariat Islam. Secara teori, label ini menunjukkan substansi produk sesuai dengan standar yang berlaku.

Namun, kenyataannya tidak selalu demikian. Produk dengan label halal yang menggunakan nama-nama seperti "wine" atau "beer" menimbulkan kontroversi. Meskipun secara teknis label tersebut benar, makna kata-kata tersebut dalam persepsi umum seringkali bertentangan dengan konsep halal. Ada jarak antara apa yang disampaikan oleh label dan apa yang dipahami oleh konsumen. Kata-kata yang ambigu atau membawa asosiasi negatif bisa membuat label kehilangan kepercayaan di mata masyarakat, meskipun produk tersebut secara hukum halal.

Dalam ekonomi pasar, label seringkali digunakan sebagai alat pemasaran. Sertifikasi halal, misalnya, menjadi daya tarik bagi konsumen Muslim, yang jumlahnya terus meningkat. Namun, jika label lebih difokuskan pada kepentingan ekonomi daripada substansi kehalalan yang sesungguhnya, maka nilainya bisa tergeser. Label halal mungkin sah menurut hukum, tetapi apakah ia masih mewakili esensi dan ruh kehalalan?

Banyak konsumen mengandalkan label sebagai panduan dalam memilih produk. Mereka mempercayai label untuk memastikan bahwa produk yang mereka beli sesuai dengan nilai-nilai yang mereka anut, seperti kehalalan dalam produk makanan dan kosmetik. Jika label hanya menjadi alat untuk kepentingan komersial, tanpa pengawasan ketat terhadap substansinya, maka kepercayaan masyarakat bisa runtuh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline