Lihat ke Halaman Asli

Ayub Wahyudin

Dosen, Bukan Anak dari Trah Ningrat, Maka Menulis untuk menjadikan Hidup Lebih Bermartabat!!

Netralitas yang Tak Berguna

Diperbarui: 14 Agustus 2024   11:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Kresi Penulis

Persekusi yang terjadi di Kecamatan Rengasdengklok, di mana rombongan Kiai NU diserang oleh massa tak dikenal, menyoroti keterbatasan sikap netral dalam menghadapi kekerasan. Ketika tindakan kekerasan ini merusak fisik dan menimbulkan luka, serta menciptakan ketidakpastian dan trauma, netralitas bukanlah pilihan yang dapat diterima. Dalam konteks ini, sikap netral hanya akan memperburuk keadaan dan mengabaikan hak asasi manusia serta prinsip keadilan.

Kejadian di Rengasdengklok melibatkan serangan brutal terhadap kendaraan yang membawa Kiai NU. Serangan tersebut bukan hanya merusak mobil, tetapi juga melukai seorang santri dan anggota Banser NU. Dalam situasi seperti ini, memilih untuk tidak bertindak atau hanya bersikap netral akan membiarkan pelaku kekerasan merasa tidak terancam oleh tindakan mereka, dan justru memperpanjang penderitaan korban.

Netralitas di tengah kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah; ia justru mengabaikan tanggung jawab kita untuk melindungi mereka yang terancam. Ketika Gus Yahya, Ketua Umum PBNU, menyerukan agar pelaku persekusi ditangkap dan diadili, ia tidak hanya menegakkan hukum, tetapi juga menunjukkan bahwa netralitas dalam menghadapi persekusi adalah sikap yang keliru dan merugikan. Sikap netral akan berarti membiarkan kekerasan terus menerus merajalela tanpa ada konsekuensi bagi pelaku. Hal ini akan menciptakan preseden buruk, di mana tindakan kekerasan terhadap tokoh agama dan kelompok lainnya dapat terjadi tanpa rasa takut akan hukuman. Netralitas dalam situasi ini berarti mengabaikan keadilan dan membiarkan ketidakadilan berkembang.

Sebagaimana dinyatakan oleh Martin Luther King Jr., "Keadilan yang tertunda adalah keadilan yang ditolak." Jika masyarakat dan pihak berwenang memilih untuk tetap netral dalam menghadapi persekusi di Rengasdengklok, maka mereka tidak hanya menunda keadilan tetapi juga menolak hak korban untuk mendapatkan perlindungan dan pemulihan.

Persekusi di Rengasdengklok bukan hanya tindakan kekerasan fisik, tetapi juga simbol dari ketegangan sosial dan politik yang lebih luas. Seperti yang diungkapkan oleh Desmond Tutu, "Jika Anda adalah netral dalam situasi ketidakadilan, maka Anda telah memilih sisi penindas." Dalam kasus Rengasdengklok, sikap netral berarti memilih untuk tidak bertindak demi melindungi pelaku kekerasan dan merugikan korban.

Oleh karena itu, respons terhadap persekusi di Rengasdengklok harus melampaui netralitas. Kita harus mendukung tindakan hukum yang tegas, memastikan keadilan ditegakkan, dan berkomitmen untuk mengatasi akar penyebab kekerasan. Hanya dengan cara ini kita dapat menciptakan masyarakat yang adil dan harmonis, di mana keadilan tidak hanya menjadi impian, tetapi juga kenyataan yang dapat kita capai bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline