Kampus sebagai pusat produksi pengetahuan serta menjadi epicentrum pendidikan, teknologi dan moral, diambang keruntuhan karena ancaman kekerasan seksual yang merajalela. Itupula yang disampaikan oleh Prof. Alimatul Qibtiyah, Ph.D (Komisioner Komnas Perempuan) dalam agenda “Lokakarya Inisiasi Penyusunan Regulasi Tentang Pencegahan dan Penangan Kekerasan Seksual di Kampus”.
Cherbon Feminist, Fahmina Institute, We Lead, ISIF (Institut Studi Islam Fahmina), PUSIGA (Pusat Studi Islam Gender dan Anak) ISIF, KKN-MM STAI SADRA, dan Ma'had Aly kebon Jambu, memandang perlu untuk membuka wawasan tentang kampus yang ramah terhadap perempuan, lokakaryapun terlaksana dengan baik pada akhir 2022 lalu.
Hal yang menjadi diskusi terkait dengan peranan kampus sebagai pionir pembebasan Kekerasan Seksual sekaligus menjadi citra dan sumber rujukan penangan Kekerasan Seksual bagi lembaga lain, juga masyarakat adalah bagaimana membuat sistem dan regulasi yang ramah, bukan hanya soal pencegahan, juga menyangkut implementasi perlindungan terhadap korban serta penerapan sanksi terhadap pelaku dan penindakan yang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum.
Stereotif Sumber Fitnah
Sejak mengenal istilah harta, tahta dan wanita, tafsir tentang sosok perempuan seolah sumber fitnah, telah berpengaruh terhadap mental mode dalam Iceberg Analysis, yakni perempuan berhak untuk dilecehkan, harus melayani laki-laki, karena sumber fitnah yang dijadikan stereotif pada perempuan, akan melegalkan semua perempuan tanpa pengecualian.
Persoalan tersebut berlaku secara umum, di kampus dan luar kampus atau masyarakat pada umumnya. Padahal, sebagai korban secara simbolik (halus) sering kita temui dalam interaksi, misalnya “pantesan ga nutup aurat, layak disebut perempuan ga bener”, “hai cantik, open BO dong?” dan sebagainya. Lalu, bagaimana dengan ragam kasus terhadap perempuan berhijab?, apakah hal itu, kesalahan dari perempuan sebagai “sumber fitnah”.
Apakah laki-laki berhak lolos dari dosa nafsu seksual?, berhak melakukan kekerasan seksual?, berhak mengintimidasi dan sebagainya. Soal Perempuan berhijab, hasil survei Hollaback! Jakarta, perEMPUan, Lentera Sintas Indonesia, Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta, dan change.org Indonesia, menunjukan kasus kekerasan seksual sebanyak 17%
Hingga Bunuh Diri
Perempuan korban kekerasan yang dikucilkan keluarga dan kerabatnya, menambah trauma, stress, bahkan bunuh diri. Seperti yang terjadi pada 2020 silam, Novia Widyasari, seorang Mahasiswi yang tewas di dekat pusara sang Ayah.
Mahasiswi Universitas Brawijaya (UB) ini menenggak racun karena depresi usai diperkosa dan dipaksa aborsi oleh sang kekasih, Randy Bagus, yang sudah dijebloskan ke dalam penjara.
Sebagai mahasiswi Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Ilmu Budaya, UB, pernah melaporkan kasus pelecehan seksual yang pernah dialaminya ke pihak kampus, pendampingan terhadap korban tak hanya kewajiban keluarga, hendaknya juga dilakukan oleh pihak kampus. Inilah yang seringkali diabaikan.