Lihat ke Halaman Asli

Ayub Simanjuntak

The Truth Will Set You Free

Guru yang Saya Benci

Diperbarui: 15 Februari 2021   00:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi : bigstockphoto.com

"Plakk"! jangka kayu itu melayang kencang nyaris mengenai lengan kiriku. Ibu Aan melemparkan benda tersebut karena habis sudah kesabarannya. Sambil memandangi langit-langit putih dan lampu neon ruangan kelas, saya menahan air mata yang mulai jatuh karena marah, kecewa dan malu. Saya baru kelas 1 di sebuah sekolah katolik yang memang terkenal disiplin dan keras pada saat itu.

 Senin nahas itu dimulai dengan  pelajaran Matematika, minggu lalu ibu guru memberikan beberapa nomor pekerjaan rumah mengenai materi diagram venn. Tiga buah bulatan dengan irisan ditengah tertulis dengan kapur warna warni dan sebuah tulisan "kumpulkan PR" membuat kepala saya berputar; saya pusing sekali terlebih memikirkan hukuman yang pasti dijatuhkan karena lupa mengerjakan PR.

Sebetulnya ada beberapa anak yang juga di panggil maju kedepan kelas karena belum mengerjakan pekerjaan rumah itu. Banyak juga yang mengerjakannya di ruang kelas tapi mereka tidak jujur. 

Setelah berdiri kira-kira lima belas menit didepan kelas sebagai hukuman, ibu guru meminta kami semua membungkuk dan menyentuh ujung kaki kami memakai tangan lalu berjalan membungkuk dari sudut satu ke sudut sebelahnya.

Beberapa teman sudah melakukan hukuman itu dengan cepat dan mereka  diizinkan untuk duduk. Tetapi karena saya memakai celana pendek putih yang cukup ketat kuatir  celana pasti  robek. Saya menolak melakukan itu dan bersedia dihukum apa saja. Ibu guru mulai mengerenyitkan dahi seraya   menghitung lambat, satu... dua ...tiga... muka nya merah dan tepat pada hitungan ke tiga terjadilah lemparan jangka itu.

Buat  yang kurang akrab dengan jangka kayu, saya akan jelaskan kalau itu adalah benda yang cukup besar, di salah satu ujungnya ada seperti paku yang dipakai untuk menancapkannya pada papan tulis ketika hendak menggunakannya misalnya membuat lingkaran.

Nyaris terkena paku runcing tersebut, emosi saya tiba-tiba meledak. Saya yang memang memiliki tempramen mudah marah waktu itu langsung protes dan melawan. Guru tersebut yang biasanya sangat lembut mendadak buas. Dia marah karena saya berani protes, hal itu memang dipandang sangat buruk. Membantah guru lebih buruk dari tinggal kelas seperti budaya disekolah kami waktu itu.

Terlahir dengan didikan keras saya tumbuh menjadi remaja yang cukup  "bermasalah" dengan otoritas baik orangtua maupun guru-guru. Jiwa "adventurous" dan rasa penasaran  yang besar sering membuat saya mendapat masalah dengan mereka. Perlakuan kurang baik dari teman-teman dan budaya perundungan pada masa itu semakin memperburuk keadaan.

Ibu Aan naik pitam, diusirnya saya dari kelas dengan suara nyaris melengking tinggi sekali. Menyuruh saya melapor ke wali kelas, Ibu Wati. Saya sempat mengacungkan tinju saya tepat didepan matanya seolah ingin menunjukan kalau saya laki-laki dan tidak mau diperlakukan begitu,

Ibu Wati, walikelas waktu itu, adalah guru yang cukup baik karena jarang marah. Saya mengetuk ruang guru yang diisi kira-kira 10 orang waktu itu, beliau mempersilakan saya duduk dan mendengarkan masalah saya. Tidak lama ia menasehati dan kemudian  menyuruh saya kembali ke kelas dan meminta maaf atas tindakan buruk saya itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline