Apa perasaan saya saja, atau alam politik kita semakin mirip Amerika yang bercorak oposisi biner? Dikotomi KMP vs JKW-JK bila dibiarkan berlama-lama bisa jadi mirip dikotomi liberal-konservatif di Amerika sana. Dalam permainan media, kubu KMP sejak pemilu kemarin dan masih berlanjut kini dicitrakan berisi orang-orang patriotik militeristik ala eagle republikan di AS, atau mereka dicitrakan sebagai wakil-wakil orang-orang religius konservatriv seperti kaum evangelis yang banyak bercokol di Partai Republik. Sementara itu koalisi JKW-JK dari dulu dictirakan agak mirip dengan gerombolannya Obama di Demokrat. Mereka dianggap libaral dan menjadi payung bagi aspirasi kaum minoritas, retorikanya pun lebih kalem soal militer dan memiliki kecendrungan sosialis dalam kebijakan ekonomi. Dikotomi ini jika berlarut-larut bisa merubah peta konvensional dalam mebaca politik Indonesia. Selama ini kubu-kubu politik di Indonesia biasanya diklasifikasi mengikuti kecendrungan para founding father kita ; nasinonalis sekuler, nasionalis Islam, dan kaum "kiri". Meski yang terakhir ini akhirnya secara resmi tersingkirkan tapi sisa-sisa kecendrunganya secara intelektual dan ekonomi tentu masih ada.
Dikotomi seperti ini sebenarnya labil dan penuh titik abu-abu. Politisi tetaplah para pemain akrobat yang akan melakukan gerakan seajaib apapun demi mendapatkan keuntungan. Masalahnya,di dalam dikotomi semacam ini ada jebakan berbahaya. Chomsky memperingatkan bahwa di dalam dikotomi seperti itu seseorang akan terkungkung untuk berpikir cuma disekitar dua kubu itu saja, meski ia sudah merasa punya kebebasan berpikir ; pseudo free-thinking. Masih menurut Chomsky meski perdebatan tentang segala macam kebijakan bisa dilakukan terbuka di ruang-ruang publik tapi kesadaran masyarakat akan tersandra untuk hanya berputar-putar di antara dua opsi sikap. Lihatlah kini misalnya, orang-orang boleh saja memikirkan soal Pilkada, tapi sekrits-kritisnya mereka, pilihan untuk diperdebatkan cuma dua, dan sikap apapun yang diambil akan menggringnya menjadi pion salah satu kubu. Dalam jangka panjang hal itu tentu berbahaya.
Sebagai muslim, keprihatinan saya selanjutnya adalah jika pencitraan seperti ini terus berlanjut dan menjadi dikotomi konservatif-liberal, maka salah satu efeknya adalah semakin gampangnya faham liberalisme ditanamkan. Saya tidak terlalu faham soal liberalisme di ranah lain (ekonomi neolib misalnya), tapi di ranah agama liberalisasi tentu berbahaya, setidaknya dari sudut pandang saya sebagai muslim. Jika kubu liberal Islam merapat ke kubu yang berkecendrungan liberal, dan ini memang sudah terjadi, maka mereka akan punya akses untuk mempengaruhi kebijakan berkaitan agama di negri ini. Dalam kondisi seperti itu, sikap kontra terhadap mereka secara langsung atau tidak akan diasosiasikan sebagai sikap yang politis. Betapapun kritik yang diajukan sangat akademis dan berbobot, bisa saja oleh orang awam dianggap hanya salah satu reaksi kubu konservatif dan dengan demikian perpanjangan tangan koalisi lawan. Sikap beragama kita bisa tereduksi menjadi sikap mendukung salah satu kubu politik, betapapun kita sama sekali tidak ada urusan dengan mereka. Ini adalah dampak lebih lanjut dari dikotomi tersebut bila logika analisis Chomsky tadi memang benar. Tentu ini akan sangat merugikan.
So what? Apabila keadaan ini terus berlanjut, maka kita bisa mendengarkan nasehat Mobeen Vaid, aktivis muslim di Amerika yang menulis untuk website ternama MuslimMatter.org ; Kita harus kelaur dari perangkap yang mengungkung kesadaran kita akibat dikotomi sikap politik tersebut. Meskipun media tersu-menerus membuat segala sesuatu di Indonesia ini hanya bisa dilihat dari dua sudut pandang, jika bukan KMP maka ikutilah JKW-JK, kita tidak boleh terjebak. Nasehat tersebut sesungguhnya ia sampaikan untuk muslim Amerika menjelang pemilu ini. Namun saya menerjemahkannya untuk konteks Indonesia. Lebih dari itu, kita bisa kembali pada keihlasan model pendahulu kita ; segala sesuatu diukur berdasarkan maslahat Islam khususnya dan seluruh bangsa secara umum. Dengan demikian, seperti apapun semerautnya kabut iklim perpolitikan, kita tetap punya pedoman bersikap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H