Emansipasi wanita telah diperjuangkan oleh Raden Ajeng Kartini ratusan tahun lalu. Sosoknya memang telah tiada, namun semangat perjuangannya masih berkobar dalam diri perempuan Indonesia.
Semangat Kartini itu turut mengalir dalam diri Ida Nurhayati, perempuan kelahiran Blora yang nyaris tidak melanjutkan pendidikannya ke jenjang SMP. Pekatnya badai kehidupan justru menghempaskan Ida menuju kecemerlangan karirnya saat ini.
Perjuangan panjang menuntun Ida menjalani profesi ganda di bidang akuntansi. Pimpinan Kantor Akuntan Publik (KAP), sekaligus menjadi seorang dosen di sebuah perguruan tinggi negeri di Semarang.
Bukan hanya tentang pencapaiannya yang mengagumkan, namun juga berbagai aspek kehidupannya. Sisi kepemimpinan, keseimbangan antara karir dan keluarga, serta nilai-nilai kehidupannya sangat layak dijadikan inspirasi bagi perempuan lainnya.
Pendidikan dan Perjuangan
Pencapaian Ida Nurhayati saat ini adalah bayaran atas perjuangannya sedari kecil. Gerobak bakso sang ayah dan rumah ala kadarnya menjadi saksi lika-liku hidupnya. Berbeda dengan anak sebaya dirinya yang mengisi hari-harinya dengan bermain, Ida kecil harus rela membantu kedua orang tuanya bekerja.
Pasang surut usaha orang tua, sering kali membuat mereka terpaksa meminjam uang demi menopang kebutuhan sehari-hari. Kondisi itu membuat Ida kecil termotivasi untuk mengubah derajat kehidupan keluarga suatu hari nanti. Sosok kecil Ida berpikir bahwa pendidikan adalah jembatan perubahan itu.
Baginya, sekolah adalah kesempatan mahal yang pantang disia-siakan. Berkat bantuan gurunya di SD, Ia mendapat beasiswa dan berkesempatan melanjutkan sekolah ke jenjang SMP. Kesungguhannya dibuktikan dengan prestasinya yang selalu menempati posisi pertama paralel di sekolahnya.
Sayangnya, keinginanya untuk bersekolah di SMA umum harus kandas. Orang tua hanya mengijinkannya bersekolah di sekolah kejuruan, tujuannya agar dapat langsung bekerja setelah lulus.
Rasa terpaksa sempat melanda ketika Ida harus bersekolah di SMK jurusan Akuntansi. Meskipun demikian, ia meyakini bahwa ada keberkahan di balik restu orang tua. Keyakinan itu terbukti, kesempatan untuk kuliah justru datang setelah ia lulus SMK. Singkat cerita, kuliah D-3, S-1, hingga jenjang S-2 di Universitas Diponegoro berhasil dirampungkannya. Ketiga jenjang perkuliahan juga diselesaikannya dengan penuh liku dan perjuangan di setiap jenjangnya.