Jika masih beranggapan bahwa simpatisan terorisme berasal dari mereka-mereka yang termarjinalkan, mungkin perlu dipikir ulang. Mengingat beberapa pemberitaan di media masaa yang mengabarkan kian meningkatnya jumlah orang-orang dari kalangan menengah dan bahkan terpelajar, khususnya dari kelompok usia muda, terpengaruh paham radikal, jelas terpampang fakta bahwa terorisme tidak pandang bulu dalam melakukan propaganda.
Saat ini banyak diketahui bahwa simpatisan terorisme banyak bermunculan dari kalangan anak muda yang terpelajar. Entah itu masuk menyelinap melalui sekolah maupun perguruan tinggi, eksistesi propaganda paham radikal kini telah menjadi ancaman yang serius bagi anak muda. Pertanyaan saya adalah mengapa anak-anak muda yang cerdas justru mudah terpengaruh oleh paham radikal?
Mungkin hal tersebut dapat dirunut dari fakta umum yang mengatakan bahwa anak muda (rentang usia 18 s/d 25 tahun) merupakan kelompok yang masih memiliki tingkat labil cukup tinggi. Di kelompok rentang usia tersebut masih merupakan rentang masa pencarian jati diri. Secara ilmiah, rentang usia tersebut masih memiliki sistem kognisi dan proses mengolah pengetahuan yang terbuka. Mereka begitu mudah mencerna tanpa harus terprovokasi. Hal ini menjadi peluang bagi paham radikal untuk masuk meracuni pemikiran anak muda.
Menurut beberapa kajian psikologi mengenani anak muda, kondisi seperti di atas sering kali dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk melancarkan propagandanya. Berbagai upaya ditempuh oleh para penyebar ideologi sesat untuk memengaruhi kognisi anak muda sehingga merasa tidak berdaya. Ketika kondisi tersebut berhasil dicapai, maka dengan mudah paham radikal pun dapat dimasukkan.
Tidak berdaya di sini berarti lebih dari sekadar lemah karena merasa termarjinalkan, melainkan juga dapat diakibatkan kehilangan pemaknaan diri yang berawal dari perasaan ‘tidak ada yang mengerti dirinya.’ Ketika ada satu paham tidak dikenal yang datang menjanjikan suatu eksistensi, maka hal tersebut dapat menjadi sesuatu yang menggoda untuk diikuti. Sungguh mengerikan.
Selain itu, paham radikal juga dapat meracuni anak muda yang tidak terbiasa berpikir kritis. Mengapa bisa begitu? Kita sering melihat pola pendidikan saat ini lebih banyak menekanan pada pemahaman, namun dengan sedikit proses analisis. Terlebih dengan masih sering ditemuinya pola pengasuhan yang menghalangi pengajuan pendapat dari anak juga turut mempekeruh kondisi. Jika hal ini dibiarkan, lama-lama dapat mematikan daya pikir anak muda.