Lihat ke Halaman Asli

Getok Tular, Wujud Persaudaraan dan Cinta Damai

Diperbarui: 16 Januari 2016   12:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“tok…tok…tok…”

“tok…tok…tok…tok…”

“tok…tok….tok…tok…tok…tok…tok..”

Suara kentongan it uterus menyebar ke seluruh kampong, ketika terjadi hal yang perlu diwaspadai. Ya…, dulu, negeri kita mengenal ‘kentongan’ untuk memberikan tanda, terjadinya sesuatu.  Tak heran setiap pos kamling atau rumah, selalu disediakan kentongan. Jika ada maling masuk ke kampung, satu rumah memukul, disambut dari rumah yang lain. Tanda bahaya itupun akhirnya dengan cepat menyebar, dan kampung pun menjadi aman. Itulah sistem getok tular jaman dulu.

Kini kentongan mulai ditinggalkan. Seiring dengan perkembangan teknologi, sosial media telah menggantikan posisi kentongan. Facebook, twiter, forum diskusi, broadcast massage, meme, hashtag, dan lain sebagainya, telah beralih fungsi menjadi ‘kentongan berteknologi tinggi’. Contoh paling gamblang, ketika teror bom melanda Jakarta, aksi para ‘kentongan berteknologi tinggi’ ini terbukti efektif, menangkal kekhawatiran publik. Bukan hal yang berlebihan, banyak pihak yang menyatakan aksi teror telah gagal. Karena masyarakat kita memang bersaudara, dan cinta damai antar sesama.

Kini, pelaku bom Sarinah telah ditangkap. Waktunya para petugas bekerja untuk mencari tahu, maksud dan tujuan pengeboman, serta terus memburu kelompok teroris yang lain. Lalu, apa yang bisa kita lakukan sekarang? Tentu tetap tidak akan tinggal diam. Setelah dunia mengakui, bawa Indonesia tidak takut melawan teror, saatnya membuktikan bahwa Indonesia tidak pernah berhenti melawan paham radikal, tindakan radikal, sampai aksi terorisme.

Bagaimana kita melawannya? Sederhana aja guys. Dengan hashtag, terbukti kita bisa melawan teror. Dengan ‘kentongan gaya baru’ ini, mari kita tularkan semangat untuk terus memupuk persaudaraan dan cinta damai antar sesama. Sadarkah kalau kelompok radikal itu tidak akan berhenti. Mereka tidak pernah mati gaya guys. Mereka terus menyebarluaskan virus radikalisme, dengan berbagai cara.

Media internet, seringkali habis-habisan di eksplore oleh kelompok radikal ini. Pada Maret 2015, ISIS sempat membuat sosmed, yang dinamakan Khelafabook. Mirip-mirip facebook. Aksi ini dilakukan karena facebook dan twitter sering memblokir akun pendukung ISIS. Mereka juga sering menggunakan akun yang digemari masyarakat. Misalnya, akun Preman Pensiun di facebook, yang berisi tentang seruan Jihad. Contoh ini, merupakan bukti dan upaya dari mereka, bahwa mereka tidak pernah mati gaya.

Apakah kita sering mati gaya? Mari kita coba renungkan. Terkadang kita seringkali hanya menonton, mencibir, bahkan bersikap apatis terhadap ‘cuitan radikal’ ini. Akibatnya, suara mereka di dunia maya kian massif, jika kita hanya bersifat pasif. Yuuuk….sekarang waktunya. Kita bersihkan suara-suara bising yang menjadi benih radikalisme. Mari kita getok tularkan bersama. Bahwa Indonesia, merupakan negeri yang ramah, toleran, damai, seperti yang tertulis dalam sejarah. Bhineka Tunggal Ika, telah mengantarkan negeri ini menjadi negeri yang menghargai perbedaan.

Lingkungan yang acuh, juga berpotensi bisa menjadi ruang untuk suburnya benih radikalisme. Kita tidak bisa acuh lagi guys. Bom Sarinah, akan menjadi bom yang terakhir di negeri ini, juga kewaspadaan itu bisa kita getok tularkan. Jika persaudaraan dan cinta damai itu, terus kita sebarluaskan. Hal itu bisa menjadi upaya pencegahan yang efektif, untuk memutus mata rantai terorisme.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline