Lihat ke Halaman Asli

Ayu Afrida Laili

Lili Afrida

Rayuan Pembangkit Listrik di Tanah Jawa

Diperbarui: 5 Mei 2020   14:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dilansir dari: TeropongSenayan.com

Salam sejahtera.

Dalam tiap kesempatan kampanye terdahulu, Presiden Joko Widodo begitu getol untuk memberikan akses listrik yang merata kepada seluruh rakyat Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, ia menargetkan 35.000 megawatt dapat dihasilkan secara mandiri oleh Indonesia.  

Angka ini sesuai prediksi pertumbuhan ekonomi sebesar 7% dengan rerata konsumsi listrik bertambah 7.000 megawatt tiap tahunnya. Untuk mewujudkannya, dicanangkanlah megaproyek pembangunan pembangkit listrik baru di Indonesia. Total terdapat 93 pembangkit listrik baru yang akan hadir di tengah-tengah kehidupan. 

Dari keseluruhan pembangkit listrik tersebut, sebanyak 60% di antaranya didominasi oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Salah satu PLTU yang dimantapkan di era kepemimpinan Joko Widodo adalah PLTU Batang. 

PLTU ini memiliki kapasitas produksi hingga 2.000 MW per hari. Digadang-gadang, kehadirannya akan menyaingi PLTU Paiton sebagai PLTU terbesar di Asia Tenggara.  Pembangunan PLTU ini bekerjasama dengan pihak swasta, yakni PT Bhimasena Power Indonesia.

PT. BPI merupakan sebuah perusahaan patungan yang beranggotakan Electric Power Development Co. Ltd. (J-Power) 34%, PT Adaro Power 34% dan Itochu Corporation (Itochu) 32% dengan nilai investasinya sebesar US$4,2 miliar. Nantinya jika sudah resmi beroperasi, PLN akan “membeli” pasokan listrik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik tersebut. Namun, proyek pemerintah tidaklah semulus Tol Trans-Jawa. Ganjalan kerap menghadang. Permasalahan pelik, klasik, nan membumi di negara kita adalah pembebasan lahan. 

Ya, pembangunan PLTU Batang membutuhkan lahan seluas 226 hektar. Ancangan lokasi pun telah ditetapkan. Sesuai panduan, akan terdapat lima desa yang terdampak pembangunan pembangkit listrik. Kelima desa tersebut ialah Ujungnegoro, Roban, Wonokerso, Ponowareng, dan Karanggeneng. Prakarsa PLTU Batang sudah mengemuka sejak tahun 2012. 

Namun selama empat tahun proyek tersebut tiarap di tempat akibat terganjal pembebasan lahan. Warga memprotes kehadiran PLTU di tanah mereka dikarenakan dapat mengganggu ekosistem alam dan menghilangkan mata pencarian. Hal ini diungkapkan dengan terang oleh Cayadi, seorang petani Desa Karanggeneng yang terdampak proyek ini. Dirinya dan warga di desanya banyak mendapat intimidasi dari pihak pengembang. Pasalnya, pihak pengembang menggunakan bantuan aparat keamaan (TNI-Polri) dalam proses pembebasan lahan. Ia yang kukuh untuk tidak menjual sawahnya harus merasakan isolasi menuju tempatnya bekerja.

Dirinya harus rela berjongkok merintangi parit hanya untuk bisa akses ke lahan garapannya. Pasalnya, tembok seng setinggi dua meter dipasang oleh pengembang, menjadi pembatas jelas kepemilikan lahan. Kendati telah “dinasihati” untuk patuh kepada aturan, nyatanya tidak ada jaminan pasti dari pemerintah perihal proses ini. Yang ada justru Cayadi dan seorang kawannya dipenjara akibat “menghalangi” Negara dalam pembebasan lahan. Tidak hanya Cayadi. 

Seorang nelayan Desa Roban bernama Jaeni juga tak luput dari kegelisahan. Eksistensi PLTU Batang di bumi mereka akan merenggut hajat hidup orang banyak. Kehadiran kapal tongkang –yang umumnya muncul di sekitaran PLTU– akan memperburuk kondisi perairan laut. Meskipun suara-suara kecil macam Cayadi dan Jaeni menjadi alarm bagi kita, tentu pemerintah tidak sudi memperhatikan. Proyek tetap berjalan. Bahkan per Desember 2019, proyek PLTU Batang sudah di atas 80%. Sebelum akhirnya pandemi korona lumayan menggoyahkan target realisasi di tahun 2020.

Lantas apa yang menjadi akar permasalahan? Benarkah karena pembebasan lahan belaka?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline