Lihat ke Halaman Asli

Pak Sopir Taksi, Maaf Atas “Kemurahan” Hatinya....

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya gak habis pikir, mengapa ya, orang-orang sekarang begitu sombong untuk menerima rejeki? Padahal kan rejeki itu datangnya tidak bisa dijadwal dan akan sangat sombong sekali bila kita menolak rejeki ketika itu menghinggapi hidup kita. Yaaaa...menghinggapi hidup, seperti sebuah kebetulan yang tidak bisa dipanggil dan sulit ditangkap jika kita tidak berusaha sedemikian keras. Seperti mau nangkap lalat gitulah...

Oke, kembali ke topik, ketidak-habis-pikiran saya akan kesombongan makhluk Tuhan dalam menanggapi rejeki.

Kemaren hari Minggu sore yang indah nan sendu, ketika saya sekali-kali pengen memanjakan kaki saya yang udah segede gajah buat jalan berkilo-kilo ke kampus, saya memutuskan untuk naik taksi ke kostan. Saat itu, saya dan 2 orang teman saya, Niken dan Sherly, memutuskan untuk naik taksi dari kampus setelah puas hotspot-an di kampus tercinta. Nah, waktu itu kebetulan ada taksi lewat di depan kampus dan kami memberhentikannya selayaknya penumpang yang lain. (statement ini sedikit aneh,ya... J)

Taksi pun berhenti, si bapak sopir sudah sepakat untuk mengantar kami ke lokasi. Kami naik dan menikmati perjalanan dengan obrolan-obrolan seputar ujian semester yang akan kami hadapi. Sekali-kali saya melirik ke Bapak Sopir yang sudah cukup berumur. Jadi inget Bapak saya yang nun jauh di kampung sana. Sedikit rasa iba dan simpati muncul melihat sosoknya yang sudah renta harus bolak-balik narik taksi di tengah kesesakan ibukota.

Namun rasa simpati itu berangsur menghilang ketika kami akhirnya sampai tujuan. Sebagai anak kost, awalnya kami sangat gembira ketika melihat argo taksi hanya menyentuh nominal Rp. 5.000,00! Ini namanya rejeki yang tidak boleh disangkal! Akan tetapi kebahagiaan fana ini terhapuskan oleh "kemurahan hati" si Bapak Sopir.

Sungguh tak saya sangka, tak dikira, Bapak Sopir itu tiba-tiba mengeluarkan statement yang ambigu," Gak usah bayar aja kalau CUMA 5 ribu, bayar kalau 10 ribu!"

Oh, kami bingung dan disconnect seketika.

Saya bingung, jujur, belum bisa menangkap maksud si Bapak. Tapi akhirnya, taksi itu meninggalkan kami dengan 5 ribu rupiah di tangan yang penuh kebingungan. Betapa "murah hati" Bapak Sopir yang terhormat itu!

Sampai saat tulisan ini saya publish, saya belum bisa menangkap jelas maksud Bapak Sopir itu. Ada dua kemungkinan. Pertama Bapak itu beneran sudah kaya raya dan tidak butuh duit sehingga berbaik hati mengantarkan kami yang papa dan manis ini ke kostan gratisan. Atau kedua Bapak itu sombong, menolak rejeki yang sudah dijatahkan dan justru memeras kaum kostan pas-pasan seperti kami untuk menambah rejeki si Bapak.

Fuh... sombong benar orang zaman sekarang.... Tapi apapun maksud si Bapak, saya hanya ingin meminta konfirmasi, meminta maaf, sekaligus berterima kasih atas kemurahan Bapak Sopir yang telah mengantarkan kami sampai tujuan dengan selamat. Saran saya, sih, Pak, yaudah sih, rejeki udah ada yang ngatur. Jangan ditolak kalau memang ada dan jangan menuntut kalau memang bukan jatahnya. Kita gak perlu jadi orang sombong ya kan, Pak?

Untuk maksud apa di balik "kemurah hatian" Bapak, hm.... ada yang punya ide?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline