Lihat ke Halaman Asli

NN Ayu Nikki Avalokitesvari

Peneliti Pijar Institute I Awardee The 2nd ASEAN-India Youth Awards 2019

Harta, Tahta, dan Kuasa: Menilik Ancaman di Laut Cina Selatan dan Tegaknya Kedaulatan Nusantara

Diperbarui: 27 Mei 2024   11:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi : Artificial Intelligent

Konflik di Kawasan Laut China Selatan telah meningkatkan atmosfer ancaman di  Laut Natuna Utara  dan menjadi polemik yang mengganggu stabilitas keamanan kawasan regional dalam beberapa dekade terakhir. Survei Indonesia Strategic and Defence Studies dan Litbang Kompas menyebutkan bahwa 78,9 persen publik menilai bahwa kehadiran China di Laut China Selatan merupakan ancaman bagi Indonesia dan negara ASEAN lainnya seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darusalam. Klaim China atas Nine Dash Line (NDL) yang tumpang tindih dengan wilayah Laut Natuna Utara memberikan ancaman nyata terhadap kedaulatan Indonesia atas wilayah yang menjadi bagian dari Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia berdasarkan UNCLOS 1982. Terlepas dari dasar klaim historis China bahwa NDL merupakan "traditional fishing ground" mereka, patut diduga bahwa upaya mengeksploitasi kekayaan alam serta penguasaan atas jalur pelayaran dan perdagangan yang strategis di perairan Laut China Selatan  merupakan niatan utama dibalik klaim tersebut.

Keberadaan China di Laut Natuna Utara telah menjadi ancaman nyata bagi Indonesia dan menimbulkan friksi sosial dan ekonomi di wilayah yang strategis dan kaya akan sumber daya alam ini. Pada Mei 2023, Kapal penelitian perikanan Tiongkok bernama Nan Feng diduga melakukan survei hidroakustik/penelitian ilmiah kelautan tanpa izin di ZEE Indonesia. Padahal aktivitas semacam ini hanya boleh dilaksanakan atas persetujuan/izin dari Pemerintah Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 56 (1) dan 246 UNCLOS 1982 dan Pasal 7 Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif. Tidak berhenti sampai disana, Pelanggaran China atas ZEE Indonesia juga terjadi dengan maraknya kasus nelayan Indonesia yang diganggu oleh Kapal Penjaga Pantai Tiongkok (Chinese Coast Guard) saat sedang mencari ikan di wilayah tersebut, seperti pelemparan batu dan penyinaran laser (awal Mei 2024) serta  pengusiran dan penabrakan Kapal Nelayan KM Sumber Rejeki (pertengahan Mei 2024). Tindakan China ini tidak hanya menimbulkan ketakutan, keresahan dan mengganggu mata pencaharian nelayan setempat, kapal-kapal China juga terus terdeteksi melakukan penangkapan ikan secara ilegal di wilayah tersebut.

Terlepas dari dasar klaim historis China bahwa NDL merupakan "traditional fishing ground" mereka, patut diduga bahwa upaya mengeksploitasi kekayaan alam serta penguasaan atas jalur pelayaran dan perdagangan yang strategis di perairan Laut China Selatan  merupakan niatan utama dibalik klaim tersebut.

Klaim NDL China terhadap wilayah laut Natuna Utara juga menjadi ancaman potensial terhadap eksplorasi Sumber Daya Alam Indonesia di wilayah tersebut. Pada Desember 2021, China meminta Indonesia menghentikan pengeboran minyak dan gas (migas) di Natuna karena dianggap melanggar batas wilayah. Permintaan tersebut jelas tanpa dasar hukum internasional yang sah, namun permintaan tersebut patut diwaspadai sebagai potensi ancaman ke depan bagi Indonesia terkait kedaulatan dalam mengeksplorasi wilayah ZEE nya. Apalagi wilayah Natuna Utara menyimpan potensi besar akan sumber daya minyak dan gas bumi yang sangat bisa di eksplorasi lebih lanjut demi kepentingan Bangsa Indonesia. Berdasarkan perkiraan awal, terdapat 21,6 Tcf gas alam (metana, etana, propane, butana dan kondensat) yang tersebar di cekungan Natuna, Anambas dan Kangean serta 1,4 miliar barel minyak bumi yang tersebar di cekungan Anambas dan Cekungan Kangean. Besarnya potensi sumber daya alam di Natuna utara inilah yang juga harus dilindungi oleh Pemerintah Indonesia, agar tidak di klaim dan di kuasai oleh China.

Peningkatan ketegangan di wilayah sengketa akibat upaya penguatan kemampuan militer dari berbagai negara yang terlibat konflik di Laut China Selatan juga merupakan bahaya laten yang perlu disikapi oleh Indonesia secara bijak. Indonesia harus secara sadar ikut meningkatkan kapasitas dan kapabilitas militernya. Indonesia harus mampu memainkan strategi diplomasi pertahanan yang holistik yang tidak hanya meningkatkan deterrence effect-nya namun juga meningkatkan bargaining position Indonesia di kancah regional dalam upaya membawa stabilitas dan perdamaian di wilayah Laut China Selatan. Mengutip dari Jenne N dalam "Managing Teritorial Disputes in Southeast Asia: Is There More than the South China Sea?", menyatakan bahwa kebijakan Indonesia sebagai non- claims country menuai kontroversi dari banyak pihak. Ini disebabkan karena Indonesia hanya melihat masalah klaim China dari segi yurisdiksi, dan bukan sebagai masalah kedaulatan. Kebijakan ini diambil karena Indonesia ingin menjadi penengah dalam sengketa Laut China Selatan. Namun bukan berarti Indonesia abai terhadap potensi ancaman kedaulatan yang membayangi Laut Natuna Utara pasca klaim NDL China. Meyer dkk. dalam "Indonesia's Swift securitization of the Natuna Island: How Jakarta Countered China's Claims in the South China Sea" menyampaikan bahwa Indonesia tetap meningkatkan dan memperkuat struktur militer maupun persenjataannya di wilayah Natuna Utara. Indonesia juga secara berkala meningkatkan aktivitas masyarakat nelayan yang melaut di wilayah ZEE Indonesia di Natuna Utara, dekat perbatasan dengan China.

Meskipun menyatakan diri sebagai "Non-Claims Country", Indonesia tetap harus secara tegas menolak semua klaim China atas Laut Natuna Utara. Bukan hanya karena klaim tersebut tidak diakui hukum internasional, namun hal yang lebih penting adalah "Tidak ada negosiasi dalam hal kedaulatan".

Serangkaian Manuver China di wilayah Laut China Selatan telah membawa berbagai spektrum ancaman terhadap kedaulatan Indonesia khususnya di Laut Natuna Utara. Secara Geopolitik, Laut Natuna Utara terletak di jalur strategis yang menghubungkan Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Selain itu, secara Geostrategis wilayah ini juga merupakan pintu masuk utama menuju Laut China Selatan yang merupakan jalur maritim vital bagi perdagangan dan pelayaran internasional. Maka dari itu, pengendalian atas wilayah ini memberikan keunggulan strategis dalam navigasi laut dan perdagangan internasional. Kondisi Geopolitik dan Geostrategi Laut Natuna Utara yang sangat potensial membuat Indonesia harus cerdik dalam mengambil langkah dalam mengelola konflik sekaligus menjaga keamanan, stabilitas serta perdamaian di wilayah Laut Natuna Utara. Meskipun menyatakan diri sebagai "Non-Claims Country", Indonesia tetap harus secara tegas menolak semua klaim China atas Laut Natuna Utara. Bukan hanya karena klaim tersebut tidak diakui hukum internasional, namun hal yang lebih penting adalah "Tidak ada negosiasi dalam hal kedaulatan"

Strategi Diplomasi Pertahanan Indonesia yang holistik diperlukan tidak hanya untuk menjaga kedaulatan Indonesia atas laut Natuna Utara namun juga untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di Kawasan Laut China Selatan. Strategi ini merupakan perpaduan antara kesiapsiagaan Pertahanan dan Kerja sama Regional. Dalam tataran kesiapsiagaan Pertahanan pernyataan Bapak Prabowo Subianto (Menteri Pertahanan / Presiden Terpilih Pemilu 2024) bahwa Indonesia harus membangun kapasitas kekuatan pertahanan maritim yang kuat (penguatan TNI AL dan Bakamla, pembentuk Platform untuk patroli, pengadaan satelit, serta modernisasi alutsista) perlu segera dieksekusi dalam tindakan nyata. Dalam upaya kesiapsiagaan ini, Indonesia juga perlu melanjutkan berbagai kerja sama bilateral untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas pertahanan Indonesia yang dilakukan dengan Latihan militer bersama dengan berbagai negara seperti Latma  "Carat" dengan Amerika Serikat (Feb 2020, Feb 2022, Feb 2023); Latma "Malindo" dengan Singapura (Agustus 2020, Juli 2021, Agustus 2022, Juli 2023); Latma "Samudra Bersama" dengan Malaysia (Nov 2020, Sept 2021, Nov 2022, Sept 2023); Latma "Indo-Aus Exercise" dengan Australia (April 2021, April 2023); Latma "Japan-Indonesia Bilateral Exercise" dengan Jepang (Maret 2022) dll.

Ilustrasi : Artificial Intelligent

Dalam tataran Kerja sama regional Indonesia perlu terus melanjutkan legacy yang telah ada dengan secara aktif berpartisipasi bersama ASEAN dalam forum regional seperti ASEAN Regional Forum (ARF) dan East Asia Summit (EAS), di mana Indonesia mengusulkan pembentukan Code of Conduct (COC) di Laut China Selatan guna mengatur perilaku negara-negara di kawasan dan mencegah konflik meruncing di Laut China Selatan. Meskipun kedaulatan Indonesia atas Natuna Utara telah didasarkan pada UNCLOS, sengketa klaim teritori dengan China tetap menjadi isu yang kompleks dan memerlukan penyelesaian yang diplomatis dan multilateral. 

Dinamika konflik yang terjadi di Laut China Selatan jelas menjadi ancaman nyata bagi tegaknya kedaulatan Nusantara. Proliferasi penggunaan teknologi baik militer maupun non militer di wilayah sengketa baik oleh China maupun pihak lainnya yang berkepentingan atas Laut China Selatan harus menjadi atensi Pemerintah Indonesia. Pengamanan Indonesia atas ancaman kedaulatannya di Laut Natuna Utara mutlak harus dilakukan secara cepat, terukur dan strategis. Potensi pecahnya konflik militeristik, psywar, bahkan cyberwarfare pun harus dapat dideteksi, dipetakan, ditangkal dan dicarikan Solusi. Penguatan Kemampuan dan kekuatan militer Indonesia di Natuna Utara memang menjadi hal yang niscaya dalam upaya menimbulkan deterrence effect, namun penguatan diplomasi dan Kerja sama dengan negara Kawasan juga merupakan hal yang tidak bisa dikesampingkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline