Lihat ke Halaman Asli

Kasus JIS: Bak Kasus “Tabrak Lari” (HIT and RUN)

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Sumber :  Jakarta Globe, 22 Desember “In JIS Case, they’re  almost certainly falsely accused” oleh : Febriamy Hutapeas)

Palu telah diketuk. Vonis telah dijatuhkan. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah menjatuhkan putusannya setelah menggelar sidang hingga 18 kali atas dugaan perkara pelecehan seksual terhadap seorang murid taman kanak-kanak di Jakarta International School, yang sekarang telah resmi berganti nama menjadi Jakarta Intercultural School.

Senin, 22 Desember 2014, Majelis hakim telah menjatuhkan vonis delapan tahun penjara berikut denda Rp 100 juta subsider kurungan tiga bulan terhadap  Virgiawan, Syahrial, Zainal dan Agun. Sementara tujuh tahun penjara dengan denda yang sama terhadap Afrisca.

Puaskah publik atas putusan ini? Puaskah KPAI yang sejak awal begitu getol mengawal kasus ini? Puaskah pihak kepolisian dan para pelaku keadilan? Puaskah Ibu “korban” yang telah melaporkan? Mungkin “ya” mereka puas, tetapi mereka sampai kapanpun tak akan pernah bisa menutup mata dan hati mereka atas jerit ketidakadilan dari balik terali besi dan juga dari banyak hati yang selalu perduli pada keadilan dan kebenaran agar ditegakkan di bumi pertiwi ini. Biarkan mereka bermain DRAMA, namun mereka tak akan bisa lepas dari KARMA.

Sejak awal banyak kontroversi yang mewarnai sidang perkara kasus ini. Tuduhan bermula dari seorang ibu yang melaporkan anaknya terinfeksi virus herpes setelah disodomi di toilet sekolah tersebut.

Tetapi keraguan demi keraguan banyak bermunculan ketika hasil tes medis khususnya tentang virus herpes simpleks  tipe 2 (HSV-2) dibawa ke persidangan.

Ahli patologi forensik Dr Evi Untoro setelah membaca dan mempelajari fakta-fakta medis dari SOS Medika, RSCM dan RSPI berkeyakinan bahwa kasus ini mengada-ada alias tak pernah ada. Dugaan adanya sodomi tidak terbukti secara medis. Tes HSV-2 yang dilakukan di Klinik SOS Medika Cipete, Jakarta Selatan mengindikasikan negatif untuk immunoglobulin G (igG), tetapi positif untuk immunoglobulin M (IgM).

Artinya apa? Menarik untuk kita simak penjelasan dari salah satu saksi ahli John Kevin Baird, seorang profesor dari Tropical Medicine, University of Oxford’s Nuffield Department of Medicine ketika diwawancarai Jakarta Globe tentang hasil tes medis ini.

Dakwaan mengacu pada sejumlah isu di BAP yang mengarah pada adanya penyakit seksual menular. Laporan dari SOS menyebutkan hasil tes positif dalam diri korban untuk HSV-2 (IgM). Disebutkan bahwa bakteri ini didapat dari penis dan anus, tetapi bakteri ini tidak bersifat patogenik (menyebabkan suatu penyakit) karena bakteri ini ditemukan sangat umum di dalam tubuh manusia.

Dengan sembrononya (bahasa halus untuk “dengan bodohnya”) hasil positif IgM inilah yang dijadikan pegangan oleh ibu korban dan jaksa penuntut umum sebagai bukti bahwa si anak tertular herpes.

Padahal, menurut Profesor John Kevin, perbedaan antara dua tipe antibodi dalam tes ini sangatlah penting! Tes terhadap IgG dan IgM  bukanlah untuk virus HSV-2 itu sendiri, tetapi untuk antibodi yang dibentuk tubuh kita ketika mendapat serangan virus. Jadi lebih kepada menemukan jejak virus daripada menemukan virus itu sendiri. Terkadang jejak itu bisa mengecoh kita bila dikaitkan dengan dari mana asalnya, apa penyebabnya. Hal ini pun dibenarkan dalam semua tes serologi (pemeriksaan yang menggunakan serum) terhadap infeksi apalagi dengan variasi realibilitas yang terdapat di antara tes-tes yang dilakukan. Kadang-kadang hasil tes bisa “bereaksi silang” yang artinya infeksi A bisa menyebabkan tes atas infeksi B menjadi positif. Dalam kasus ini, positifnya disebut “positif semu” karena tesnya tidak benar-benar positif untuk infeksi B itu sendiri.

Jadi dengan demikian hasil positif atas IgM tidak bisa dijadikan bukti bahwa si anak telah tertular herpes? Tanya Jakarta Globe kepada sang profesor.

“Tepat sekali”, jawab sang profesor. Lalu beliau melanjutkan bahwa bila kita meneliti spesifikasi teknis atas tes IgG dan IgM yang dilakukan untuk HSV-2, hasil IgG lebih reliabel ( dapat diandalkan) dan IgM sangat tidak reliabel. Lebih khusus lagi tes IgM untuk HSV-2 banyak diketahui bereaksi silang  dengan sejumlah infeksi yang sangat umum, termasuk cacar air,  mononucleosis (penyakit akibat virus yang didapat dari air liur), virus Epstein-Barr (EBV)-  virus iyang menyebar melalui air liur (kadang-kadang dikenal sebagai penyakit mencium) dan infeksi saluran tenggorokan. Dengan kata lain, siapapun yang mengidap salah satu dari infeksi tersebut bisa menunjukkan hasil positif pada tes HSV-2 IgM, seperti yang didapat pada diri si anak tersebut. Karena itu, US Centers for Disease Control and Prevention (CDC) mensinyalir bahwa IgM tidak membantu untuk mendiagnosa herpes.  Hasil tes yang menunjukkan “positif semu” sangat umum didapat dengan tes IgM yang saat ini ada untuk mendeteksi herpes. Karena tidak membantu ya sebaiknya tidak digunakan. INI ADALAH FAKTA YANG TELAH TERFERIKASI (DAPAT DIBUKTIKAN), BUKAN OPINI.

Apakah bukti tidak kuatnya tertular herpes penting dalam kasus ini? PENTING! Sang profesor melanjutkan bahwa di antara para tersangka laki-laki dalam kasus JIS ini dalam BAP  disebutkan terindikasi positif HSV-2 IgG. Ini bukti yang sangat kuat dengan asumsi bahwa  prosedur tes telah dilakukan dengan baik - bukti yang juga sama baiknya bila misalnya hasilnya negatif. Maka jika lima orang laki-laki yang mengidap herpes kelamin telah menyodomi korban secara beramai-ramai sebanyak 13 kali dalam rentang waktu empat bulan, tidak akan mungkin si anak bisa tampil normal setelah kejadian ini tanpa tertular penyakit kelamin. Sementara korban dinyatakan negatif untuk HSV-2 IgG setelah sekian lamanya periode tindakan asusila yang dituduhkan dilakukan. Hasil tes ini tidak sesuai dengan tindakan kejahatan yang disangkakan.

Jadi hasil tes pada diri korban tidak menguatkan tuduhan terhadap para tersangka? Menurut Profesor John Kevin Baird, tak ada bukti medis kuat dalam BAP si korban bahwa dia mengidap infeksi penyakit seksual menular, tetapi ada bukti dalam BAP para tersangka setidaknya satu infeksi penyakit seksual, yaitu HSV-2. Fakta ini mengatakan - si korban tak ada bukti tertular HSV-2 sementara para tersangka mengidap HSV-2 - dimana kesesuaiannya? Bila tindakan yang dituduhkan itu benar-benar terjadi, si korban sudah pasti akan positif untuk HSV-2 IgG-nya.

Dalam kesaksiannya, sang profesor juga menyebutkan bahwa infeksi HSV-2 itu sangat unmum terjadi di Indonesia dan juga banyak negara-negara modern lain. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat kelaziman pengidap HSV-2 IgG pada penduduk secara umum (bukan pada pekerja seks atau kelompok penduduk resiko tinggi) adalah 10 hingga 25 persen. Bahkan dalam sebuah penelitian yang kredibel (yang salah satu penelitinya adalah mantan menteri kesehatan  era 2009-2012, Almarhumah Endang Sedyaningsih, seorang  dokter dan ahli mikrobiologi yang mumpuni) menunjukkan bahwa sebanyak 22 persen perempuan dan 19 persen laki-laki mengidap HSV-2 IgG. Hal ini penting karena beberapa tersangka diadili atas dasar positif mengidap HSV-2 IgG.

Fakta bahwa para terdakwa dinyatakan positif terjangkit herpes kelamin menjadi tidak berarti apapun untuk menguatkan bukti yang diajukan.

Sang profesor menganalogikan kasus ini dengan sebuah peristiwa tabrak lari. Bayangkan ada seorang anak yang tertabrak mobil dan pengendaranya langsung kabur. Polisi kemudian menangkap seorang laki-laki hanya dengan dasar karena dia mempunyai sebuah mobil. Jika dia satu-satunya orang yang memiliki mobil di kota tersebut tentu masuk akal, tetapi di sebuah kota dengan penduduk yang 25 persennya memiliki mobil, tentu tidak bisa diterima akal sehat. Serupa dengan kasus herpes kelamin (ibarat pemilik mobil) dan tuduhan tindakan pelecehan seksual (tabrak lari). Penyakit herpes hampir tak berarti apapun bila ditujukan untuk menguatkan sebuah bukti karena penyakit ini sangat umum.

Bagaimana respon para hakim ketika sang profesor menjelaskan bahwa tes IgM tidak membuktikan adanya sebuah infeksi?

Profesor John Kevin mendapat kesan bahwa penjelasannya ini mungkin  yang pertama kali dimengerti oleh para hakim dalam pengertian teknis tentang apa arti IgM positif. Dia mendapat kesan ini karena para hakim mengajukan beberapa pertanyaan lanjutan untuk mencari kejelasan - pertanyaan-pertanyaan mereka nampaknya mencari beberapa penjelasan yang nampaknya terlewat di sidang-sidang sebelumnya. Penjelasan ini memang benar-benar hal yang bersifat teknis bagi para ahli. Sementara bagi orang awam - bisa dengan mudah menjadi bingung dan salah dalam menginterpretasikan tes ini. Kesalahpahaman dalam hal ini bisa berdampak fatal terhadap hal-hal lain.

Ketika pengacara pembela meminta sang profesor untuk memberikan nasihat teknis, sang profesor pun setuju untuk meninjau lagi bukti klinis dan laboratorium tanpa memahami sepenuhnya betapa pentingnya kasus ini. Baru ketika beliau merasa betapa pentingnya pemahaman teknis terhadap bukti yang diajukan ini, sang profesor pun setuju untuk memberikan kesaksian.

Jadi Profesor John Kevin Baird dengan pemikirannya yang brilian dan hati nurani yang bersih merasa bertanggung jawab secara moral untuk memberikan kesaksian. Namun, bila vonis bersalah tetap dijatuhkan, di manakah hati nurani para hakim ketika menangani kasus ini?

Sungguh duka atas matinya keadilan di negeri indah ini.

MARI KITA TERUS BERJUANG DEMI TEGAKNYA KEADILAN! JALAN SEMAKIN SULIT, NAMUN TIDAK BERARTI KITA MENYERAH!

Ayu- Dec 24, 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline