Setahun sudah kehidupan kelam itu dijalaninya. 365 hari sudah dia menjalani hidup penuh dosa, dua belas purnama sudah dia menari-nari beriringkan irama gendang kegelapan, melayani nafsu duniawinya yang selalu haus dan tak pernah puas akan kenikmatan.
Sutini. Usianya memang tak mudah lagi, Lima ulang tahun lagi, dia akan menginjak usia emasnya, 50 tahun. Dia mulai berpikir bahwa pekerjaan melacur ini harus segera dia hentikan. Pelanggannya mulai berkurang, kondisi fisiknya mulai melemah.. Dan yang lebih nyata dari itu semua adalah hati nuraninya yang tak sanggup lagi untuk terus-menerus hidup dalam dusta.
Awal Januari lalu, suaminya Amran ditangkap polisi karena di gerobak tempatnya berjualan bakso ditemukan sebungkus kecil daun ganja kering yang entah siapa yang meninggalkannya. Suaminya tidak berani membuka-buka atau memindahkannya karena yakin pemilik bungkusan tersebut pasti akan kembali. Ini bukan kali pertama ada barang tertinggal di warung bakso suaminya yang biasanya pemiliknya kembali untuk mengambilnya. Namun siapa sangka barang yang terrtinggal kali ini akan membawa petaka bagi suaminya.
Sore hari ketika Amran hendak bersiap menutup dagangannya, dua orang berseragam polisi tiba- tiba datang dan menangkapnya dengan tuduhan mengedarkan ganja sambil berjualan bakso. Sontak Amran meronta sembari bersumpah ribuan kali bahwa dirinya bukanlah pengedar ganja dan dia tak tahu menahu perihal bungkusan yang tertinggal di gerobak baksonya itu. Namun Amran tak berdaya ketika akhirnya dirinya tetap digelandang ke kantor polisi dan dijebloskan ke dalam ruang tahanan. Pilu. Hanya itu yang dirasanya.
Sejak itu dunia terasa gelap senantiasa. Sutini meratap, mengharap-harap agar Amran dibebaskan. Terbayang tiga orang anak mereka masih membutuhkan biaya. Uang tabungan yang dengan susah payah pernah mereka kumpulkam telah terpakai untuk biaya masuk kuliah anak pertama mereka. Sepeser pun tiada sisa.
Sutini tak tahu apa lagi yang bisa ia lakukan agar suaminya dibebaskan dari jeratan perkara ini. Jeritan hatinya serasa sia-sia, isak tangisnya di setiap persidangan tak mampu mempengaruhi proses hukum yang berjalan. Amran pun divonis tiga tahun penjara untuk suatu perbuatan yang sama sekali tak dilakukannya. Sutini marah pada Tuhannya.
Sutini pun meneruskan pekerjaan suaminya. Berjualan bakso ia jalani hingga malam agar mendapat lebih banyak pelanggan. Benarlah. Dia mendapat lebih banyak pelanggan. Para pria pemuja kehidupan malam yang betah duduk-duduk hingga larut malam adalah para pelanggan setianya. Sutini pun menyediakan kopi untuk menambah penghasilan.
Entah kapan dan entah siapa yang memulai, Sutini yang masih tampak ayu itu pun sering tampak pergi dibonceng beberapa laki-laki secara bergantian. Entah kemana dan untuk urusan apa. Sutini tidak pernah bercerita. Setiap kali pergi, kepada anak sulungnya dia hanya berpamitan hendak ke pasar membeli barang dagangan. Namun setiap kali berpamitan ia tak berani menatap mata anaknya.
Hingga tibalah hari terakhir di penghujung tahun ini, Sutini menengok suaminya setelah lebih dari sebulan tak ditemgoknya. Terenyuh hatinya melihat betapa kurus dan menderita suaminya. Amran yang baik, Amran yang telah melewati hari-hari bersamanya, Amran, bapak dari ketiga anaknya itu harus mendekam di penjara untuk sesuatu yang tak pernah dilakukannya. Betapa dunia telah mempermainkan nasib keluarga mereka dengan tidak adilnya.
Sutini merasa kecil dan kotor dihadapan suaminya. Tiba-tiba air matanya deras mengalir membasahi kedua pipi yang dengan sembunyi-sembunyi telah dilacurkannya. Amran memeluknya seolah memahami betapa kesepian isterinya sepeninggal dirinya. Ucapan maaf yang berkali-kali keluar dari mulut Sutini dibalasnya dengan belaian lembut di rambut dan punggung isterinya.
Sepulang dari menengok suaminya, Sutini memasak makanan kesukaan keluarganya. Makanan istimewa yang biasa dihidangkannya sesekali bila ada rejeki lebih. Rawon.
Seusai bersantap malam bersama, Sutini mengatakan pada anak-anaknya bahwa dia akan berhenti berjualan bakso. Anak-anaknya tertegun mendengar keputusan yang tiba-tiba itu. Namun mereka seperti mafhum karena menyadari betapa letih Ibu mereka yang setiap hari harus pulang malam.
Lalu kepada anak sulungnya secara terpisah Sutini menyampaikan rencana pekerjaan barunya untuk berjualan sayuran dan kebutuhan sehari-hari di rumah agar bisa dekat dengan anak-anaknya. Anak sulungnya itu telah tumbuh menjadi seorang wanita muda nan cantik. Sutini ingin menjadi ibu sekaligus sahabat yang baik baginya. Sutini bertobat, Sutini bertekat untuk terus berjuang demi ketiga anaknya dan juga Amran suaminya.
Sutini tidak mengerti apa itu hukum dan keadilan. Namun satu hal yang dia tahu dan kenal dengan sangat baik, Amran adalah lelaki yang setia dan jujur. Kejujuran yang selalu memancar dari tatapan mata suaminya itu membuat Sutini merasa ditelanjangi setiap kali dia datang menengok ke penjara.
Sutini tak sanggup lagi untuk terus melacurkan amanah yang diembannya. Amanah membesarkan ketiga anak mereka ketika Amran sedang dipaksa menerima kenyataan hidup yang pahit yang memisahkannya dari keluarganya.
Sutini bersujud. Dia tutup hari terakhir di penghujung tahun yang kelam ini dengan seuntai doa: " Tuhan, suamiku orang jujur, kembalikanlah dia pada kami. Mengapa orang baik harus mendekam di penjara karena sesuatu yang tak pernah dilakukannya. Dan mengapa kau biarkan orang jahat yang sebenar-benarnya jahat bisa bebas dari perbuatannya. Seandainya kami orang kaya, apakah ketidakadilan ini tetap menimpa kami? Jawablah doaku, ya Tuhanku, Tuhan Yang Maha Benar, Tuhan Yang Maha Adil. Amin."
Ayu, Jakarta 31 Dec 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H