Aku menatap dinding kamarku yang dihiasi brokat dan satin putih. Bunga-bunga cantik tersemat di sana-sini. Tak ketinggalan juga lampu kristal yang didesain sendiri oleh calon suamiku.
Kesibukan di luar terdengar cukup jelas. Suara langkah kaki hilir mudik, ada juga suara orang memberi petunjuk, dan entah apa lagi.
Lisa, adik bungsuku, lagi-lagi datang ke kamarku. Matanya menatap lurus ke arahku, penuh selidik.
"Kakak, deg-degan yaa?
Kakak tetap sayang Lisa kan, kalau sudah tinggal dengan kakak Azam?"
Aku buru-buru memeluk dan mencium rambutnya dengan sayang. Jelas sekali dia tidak ingin berpisah denganku.
Aku sadar pernikahan ini seakan menjadi beban bagi kami berdua. Tapi untuk membatalkan pernikahan di saat semua orang mulai sibuk bersiap-siap, rasanya tidak adil juga.
Aku semakin gamang.
Apakah aku tega menghancurkan kebahagiaan bunda, wanita yang selama ini menahan derita hanya demi anak-anaknya? Bunda tampak begitu bahagia mendapatkan calon menantu sholeh dan mapan. Aku sangat beruntung menjadi calon istri Azzam.
Tiba-tiba dadaku seperti dihimpit. Aku dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama berat untuk kujalani.