Aku terpaku sendirian menatap hujan yang masih deras. Hujan itu seperti ditumpahkan dari langit. Suasana jalan mendadak sepi, padahal malam masih lama.
Aku tak ingin pulang ke kontrakan, meski Donley menawarkan mengantar dengan mobilnya. Bukan karena semacam rasa tak enak, sebab Donley pria yang baik hati. Tapi tentu saja karena aku berharap kau benar-benar menemuiku seperti janjimu.
Jujur saja, setelah enam bulan kita sepakat berpisah aku merasa rindu juga. Bagaimanapun kau pernah ada dalam kehidupanku. Dan kita pernah bersama-sama membangun mimpi yang sekarang porak-poranda.
"Maaf, aku terlambat. Sheryl sedang sakit. Dia ingin aku menungguinya sampai dia benar-benar tidur."
Ternyata kau tidak berubah. Kau selalu mengorbankan diriku dan berlindung di balik nama putri kita. Bisa saja kan itu karena kau sibuk menelepon wanita itu? Siapa namanya. Oh ya, Lissa.
"Kalau kau mengira aku berbohong, telepon saja putri kita besok pagi saat dia sudah bangun," katamu lagi.
Aku menatap meja-meja yang kosong di depanku. Meja yang semakin basah karena angin menyapu ke semua arah. Sore tadi kota Lovtown seperti dilepaskan dari musim kering yang panjang.
"Ini, aku bawakan roti yang kubuat sendiri. Isian di dalamnya adalah rasa favoritmu. Apalagi kalau bukan abon daging dengan bumbu rempah pedas..."
Kau mengeluarkan bungkusan dari dalam saku mantelmu, lalu membukanya dengan tangan sedikit gemetar.
Tampaknya kau kedinginan. Cukup jauh memang jarak dari rumah kita dulu ke tempatku bekerja sekarang. Kau pasti nekad menerobos hujan agar aku mengasihanimu, bukan?