Dalam hidupku, ada tiga kebahagiaan yang bila diceritakan tak akan pernah selesai, justru akan menggenangkan air mata di sudut hatimu.
Mari sini, rumah ini telah sunyi. Akan kuceritakan yang terakhir saja, kisah tentang aku dan kawanmu yang menikahiku dua puluh tahun yang lalu.
Begitulah, waktu telah menjauhi masa-masa kami saling jatuh cinta. Bisa dibilang aku begitu beruntung karena waktu itu sudah telat menikah beberapa lama. Teman-teman seangkatan sudah mempunyai dua atau tiga anak yang beranjak remaja.
*
Pujangga itu, kukenal di sebuah situs tempat kita menulis cacatan-catatan kecil. Walau kita bertiga sebenarnya satu almamater, namun tadinya tak saling kenal.
Berawal dari saling mengunjungi, menyimak tulisan dan meninggalkan jejak di kolom komentar, hatiku perlahan terpaut padanya.
Dia adalah pujangga yang menorehkan puisi-puisinya nan romantis dan syahdu. Siapapun yang membacanya, akan menemukan kedalaman rasa yang sulit diungkapkan.
Ini bukan penilaianku saja. Kau sering juga kan, membaca komentar orang-orang di sana? Mereka semua terpukau, terkagum dan terhanyut oleh diksi-diksinya yang indah.
Pertemuan kami tentu saja diawali dengan acara kopi darat bersama para penulis lainnya. Tapi interaksi yang seadanya, meninggalkan angan yang lebih. Dia benar-benar telah menitipkan rasa yang selama ini tak kupunya.
Atas dukungan kalian, sang pujangga akhirnya datang menemuiku. Dia mengutarakan cintanya dengan sebuah puisi yang masih kusimpan.