Suatu malam, seorang sahabat bertanya via perpesanan,"Kuperhatikan, cerpen Mbak Ayra banyak yang setting ceritanya luar negeri. Apakah ada alasan khusus?"
Saya pun menjawab, "Kebetulan, gambar ilustrasi yang menginspirasi saya, tentang negara luar. Alasan lainnya, sepertinya ini efek semasa remaja. Saya suka membaca Lima Sekawan-nya Enid Blyton."
"Sama, aku juga sukaaa.. Enid Blyton!" dia mengakhiri pesan singkatnya.
Esok siangnya, dengan sopan dan permohonan maaf, seorang senior bertanya, juga lewat perpesanan pribadi, "Apakah cerpen 'Buku-buku Bodoh' memang karangan Mbak Ayra, bukan terjemahan? Soalnya, cara bertuturnya mirip karangan orang luar..."
Mengapa sebagian penulis memilih gaya terjemahan?
Suka. Ini adalah alasan utama penulis memilih gaya terjemahan dalam cerpen yang dibuat.
Begitu pula dengan saya yang semasa remaja banyak membaca cerita detektif terbitan luar Indonesia, lalu jatuh cinta dengan bahasa penulisnya.
Memang, tidak semua orang yang membaca cerita detektif terjemahan akan langsung jatuh cinta. Sebab masih banyak unsur lain yang menarik untuk diterapkan.
Menulis cerpen dengan gaya terjemahan sudah saya lakukan setahun yang lalu. Jadi bukan Buku-buku Bodoh yang pertama kali saya buat. Beberapa di antaranya:
Lelaki yang Membawa Lentera
Pesta yang Terlambat
Misteri Kematian Tuan Grey
Nyala Lilin dan Wanita di Kamarnya
Silahkan di-klik untuk membaca, yaa...
Dan ternyata, beberapa Kompasianer lainnya juga melakukan hal yang sama. Sebut saja Fitri Manalu dengan Apa yang Harus Kulakukan Terhadap Tuan Aiden, Lilik Fatimah Azzahra dengan Misteri Potongan Rambut dalam Laci, dan Syahrul Chelsky dengan Homme.