Lihat ke Halaman Asli

Ika Ayra

TERVERIFIKASI

Penulis cerpen

Singgasana Hati Ibu

Diperbarui: 1 Maret 2022   18:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Singgasana Hati Ibu|foto: niravpatelphotography.com

Seorang wanita dengan rambut yang belum disisir, selalu bangun lebih awal dari suami dan ketiga anaknya. Hatinya selalu diliputi rasa was-was. Ia menginginkan sisa uangnya, bisa cukup untuk kebutuhan keluarganya. Tapi itu selalu saja sulit.

Suaminya, hanya orang kecil. Dari pagi hingga sore, bekerja sebagai buruh bangunan. Dan gaji harian yang didapatkan, seringkali tidak sesuai untuk daftar belanja serta keperluan lainnya.

Wanita itu, tak tertarik mengambil pekerjaan sebagai buruh cuci atau asisten rumah tangga. Ia mempunyai balita yang harus dirawat, serta dua anak perempuan yang sudah duduk di bangku Sekolah Dasar. 

Dengan idealismenya., ia ingin keduanya selalu mempunyai nilai yang bagus di sekolah. Selalu paham pelajaran yang diberikan oleh guru, dan kelak bisa menjadi anak yang berguna. Mengangkat derajat keluarga, misalnya.

Seperti pagi ini, tanpa berusaha memperbaiki penampilannya lebih dulu- sekedar menyisir rambut atau membasuh wajahnya-ia sudah mendatangi tempatnya menyimpan dompet.

Sekali waktu, dompetnya memang berisi cukup banyak uang. Tapi jumlahnya akan segera menjadi nol sebab digunakan untuk ini dan itu.

Seringnya, setelah suaminya menerima gaji mingguan, wanita itu melenggang ke pasar sambil menarik nafas lega. Ia membeli berbagai keperluan seperti beras, minyak, sabun dan tetek-bengek lainnya.

Kalau boleh jujur, wanita ini tidak siap dengan keterbatasan keluarganya. Ia tak meminta mobil mewah atau emas permata. Setidaknya ada simpanan uang untuk biaya si sulung  masuk sekolah lanjutan.

Kehidupan memang sulit, bagi orang seperti dirinya. Wanita itu bahkan sering memikirkan masa depan ketiga anak perempuannya. Akankah terhimpit dan terjepit seperti dirinya?

Dengan tertatih-tatih, diusahakannya Raisa, si anak sulung, terus mengenyam pendidikan. Sampai "sakit" kepalanya mengelola uang yang ada demi terus mengasapi dapur, sambil menyisihkan biaya membeli seragam sekolah dan buku-buku.

Belum lagi dua adik Raisa yaitu Laksmi dan Rindu. Baginya anak perempuan juga butuh pendidikan formal. Butuh pintar. Tanpa itu semua mereka akan sulit bangkit dari hidup yang sebelumnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline