Matahari sore menggelincir. Sebentar lagi senja menghiasi jalanan ibu kota. Denik suka melihat cuaca redup seperti itu.
Bagi wanita cantik seperti Denik, udara siang yang panas akan jauh menyenangkan saat berubah sejuk. Diikuti titik-titik lampu menyala di kejauhan. Suasana ini paling tepat mengantar para pekerja pulang dengan perasaan damai, setelah penat seharian
Tapi khusus hari ini, wajah menawannya sama sekali tak terlihat bahagia. Wanita itu merasa sedih, di tengah gelimang kemewahan tak berbilang.
Kalau boleh memilih, Denik ingin menjadi istri paling sempurna bagi Mas Prakasa.
Setiap pagi ia akan membawakan pria itu secangkir kopi dan membuatkan sarapan. Ia rela melepaskan karir dan jabatannya sekarang, demi melahirkan anak-anak mereka. Merawatnya hingga tumbuh dewasa.
Tapi bagaimana mungkin?
Mas Prakasa selalu memenuhi bilik maupun serambi jantungnya dengan berbagai pujian. Menghangatkan dinginya malam dengan dorongan semangat dari ujung telepon. Membelai dan menyelimuti tidurnya dengan impian tentang masa depan.
Bukankah ini konyol?
Denik, sendiri saja keluar lift apartemannya di lantai empat puluh. Ia berjalan menyusuri lorong yang sepi, hingga tiba di depan sebuah pintu.
Begitu berada di dalam kamar, ia langsung menghempaskan raga di atas pembaringan. Kulit halusnya bereaksi menangkap kelembutan dan kenyamanan kelas bintang lima. Sayang tanpa kehadiran Mas Prakasa.