Pagi baru saja menggantikan malam. Sepagi itu Tirto sudah menunggu kedatangan Pak Giman di tempat biasa di pinggir trotoar.
Meski hanya dari seberang jalan, memandang lelaki tua itu sudah mengobati kerinduannya.
Ada beribu-ribu pemberontakan dalam dirinya. Tirto ingin membawa ayahnya tinggal di rumah mereka. Tapi istrinya pasti tak akan mengizinkan.
Sepuluh tahun yang lalu, Tirto pamit pada ayahnya merantau ke ibu kota. Di kota kelahirannya ia tak bisa berkarya apa-apa. Tak ada pekerjaan untuknya, kecuali menjadi buruh sawah. Ia bosan. Ia ingin mengadu nasib di Jakarta.
Keberuntungan rupanya berpihak kepada lelaki itu. Ia bukan saja mendapat pekerjaan sebagai tenaga fotokopi, tapi juga bertemu Nina, yang kelak menjadi istrinya.
Kehidupan di Jakarta memang keras. Tirto sering dihadapkan pada pilihan yang bertentangan dengan nuraninya. Tetapi ia tetap berusaha berpegang pada didikan simbok dan bapak.
"Le, kamu itu anak lelaki satu-satunya. Kamu harapan simbok. Kamu harus menjaga keluarga kita. Ya?"
Tirto mengartikan banyak hal dari kalimat simbok. Antara lain ia tak boleh membuat malu keluarga, dan selalu menjaga agar harga diri keluarganya tak diinjak-injak!
Ketika simbok meninggal tepat di malam idul fitri, Tirto sadar tentang amanah yang diembannya. Ia harus menjaga bapak. Termasuk merawat bapak di hari tuanya.
Tapi apa yang terjadi? Lelaki itu sudah dilenakan kesenangan hidup di ibu kota.