Di hari seharusnya ia merasakan kebahagiaan, Mona justru tampak terluka.
Wajahnya murung penuh kebencian. Bayi rupawan yang baru beberapa jam ia lahirkan, seakan tak mampu menghibur hatinya.
Matahari mulai bangun dan keluar dari celah-celah daun, saat ujung jarinya mengetik beberapa huruf, membalas ucapan selamat dari Lisa. Sesaat lagi Lisa akan datang menjenguk dan membawakan kado paling manis untuk Mona dan bayinya. Tapi ia sama sekali tak suka.
"Jangan pernah datang, apalagi memberi kado!" balasnya sinis.
Mona tak mau memikirkan apa reaksi suaminya, setelah tahu ia bersikap kasar pada Lisa.
Beberapa waktu lalu mereka bahkan berdebat. Sebagai istri ia merasa diabaikan, tetapi Lisa malah dipuji setinggi tiang lampu jalanan.
Mona menggigit bibir. Mengapa kehangatan rumah tangganya harus dirusak gadis itu. Lisa adalah orang asing. Ia datang bersama awan-awan mendung, sebulan yang lalu.
Sore menjelang. Mona menunggu Arman pulang, di teras lantai dua rumah kontrakan.
Ia tampak terpekur. Bunga-bunga euphorbia yang merah, tak mampu menarik sudut bibirnya sekedar tersenyum.
Tak ada wanita yang suka, suaminya melindungi wanita lain. Tetapi Mona berusaha menghadapi masalah ini secara dewasa. Merontak meledak-ledak akan sia-sia belaka. Tapi, kenapa suaminya belum kelihatan batang hidungnya?