Konon, wajahku adalah wajah ayah. Kami begitu mirip secara fisik. Rahang pipiku, bibir yang tipis, rambut halus, bahkan posturku yang tinggi langsing, warna kulit, semua mengikut ciri-riri ayah.
Aku dan ayah begitu dekat. Ayah sangat menyayangiku. Mungkin karena aku adalah putri pertama ayah. Atau karena kami begitu mirip. Namaku Luna.
Saat aku masih kecil, aku sering kehilangan ayah. Aku sering merasa rindu pada ayah. Tapi ayah lama baru akan pulang. Kapalnya berlayar jauh sampai Filipina. Dan aku merasa sendirian.
Ayah sangat berarti bagiku. Ayah belahan jiwaku. Ayah adalah nafasku. Ayah adalah cintaku.
Judul terkait puisi Engkau dalam Sejarah
Bunda sering menasihati dan mengingatkan. Ayah jauh berlayar untuk Indonesia. Ayah adalah pelaut tangguh. Ayah juga pahlawan keluarga ini. Aku tak perlu mengeluarkan air mata.
Saat aku beranjak memasuki sekolah menengah pertama, aku berubah menjadi anak pendiam. Setidaknya guru BP yang mengatakannya. Aku sering murung di sekolah, dan sama sekali tak mau bergaul.
Guru BP memanggil Bunda, dan bertanya-tanya tentang apa yang menyebabkan aku berbeda dari murid lainnya. Yang menyebabkan nilai pelajaranku terus di bawah angka lima.
Aku kecewa. Aku sedih. Mengapa tidak ada yang memahamiku? Mengapa mereka tidak mengerti?
Saat yang lainnya tersenyum ceria, tiba di depan gerbang sekolah, lalu mencium tangan ayahnya dan pamit. Atau saat kelas bubar, dan di depan gerbang sekolah para ayah datang menjemput anak kesayangan mereka, mengapa tidak ada yang tahu?