Pada hari ke sepuluh ramadhan, suami mengajak berkeliling kota di saat menjelang waktu berbuka puasa, atau ngabuburit. Dengan kendaraan roda dua, kami menyusuri jalan-jalan kota yang relatif sepi. Waktu baru menunjukkan pukul 16.30 saat itu.
Sambil melewati bangunan pertokoan, mesjid dan rumah-rumah penduduk, saya sengaja membidik dengan kamera ponsel. Belakangan saya memang keranjingan meng-capture apa saja. Malah sengaja ikut grup foto di laman media sosial.
Sungguh bersyukur saat itu, berkesempatan menikmati langit sore yang cerah. Apalagi selama beberapa bulan, suami sibuk dengan pekerjaannya. Barulah sekitar dua minggu terakhir, dapat mengajak saya jalan-jalan santai. Dan ini yang ketiga kali.
Saat memasuki jalan Perjuangan-dekat kampus universitas Mulawarman, hati saya seperti dibawa bernostalgia.
Sudah lama saya tidak melewatinya. Selain itu, ada kenangan kegagalan yang masih saya ingat.
Saya melihat jembatan gantung yang dulu dibuat dari jalinan kayu ulin (endemik Kalimantan Timur), kini sudah berganti jembatan besar yang kokoh.
Aliran air di bawahnya yang mengarah ke waduk Benanga, tampak dalam proses pengerukan. Sebuah eskapator, terlihat parkir meneguhkan opini di hati.
Matahari sore semakin tergelincir. Situasi jalan pun berubah ramai. Sebagiannya adalah para pekerja yang baru saja pulang, sebagian lagi para pemburu takjil yang berpacu dengan sisa waktu.
Saya bersiap membidik gedung yang sudah terlihat dari kejauhan. Gedung ini, adalah tempat kegagalan saya pernah bersemayam.