Persahabatan sering digambarkan sebagai sesuatu yang indah. Persahabatan juga bisa jadi kenangan jika orang-orang di dalamnya sudah dipisahkan oleh hidup.
Tapi perlu engkau tau, aku tidak akan mau persahabatan kita yang dulu engkau jadikan tempat berlindung dari sebuah kesalahan. Apa yang terjadi padamu di luar sana, tolong engkau selesaikan. Apa yang perlu engkau pertanggung-jawabkan, jalani dengan ksatria. Jangan lari dan bersembunyi di sini.
Demikian aku menulis pada halaman diary.
Aku ingin sekali menyampaikan ini padamu. Tapi nomer whatsapp-mu telah ku-blokir. Apa iya aku akan membukanya sebentar, mengirimkan sebuah pesan, lalu mem-blokirnya lagi?
Aku merasa sahabat seperti engkau sudah menyusahkanku. Anak-anakku yang belum lagi memasuki remaja, pun menilaimu seperti itu.
Rasanya memalukan menjadi dirimu.
Anak-anakku tau, dulu kita bersahabat. Sewaktu kita masih kecil, berlanjut pada zaman sekolah, berlanjut lagi saat kita masing-masing sudah menikah. Kita masih sekali-sekali bertemu dan berbagi cerita. Masih tertawa-tawa bersama dan makan bersama.
Terakhir kita bertemu, sekitar dua bulan yang lalu. Saat itu engkau mengatakan sedang mengalami masalah keuangan. Katamu karena pandemi. Lalu dieler menarik sepeda motor mahal yang baru sebulan kalian nikmati.
Aku terperangah waktu itu.
Sudah tiga kali suami yang engkau banggakan menggonta-ganti motor dengan keluaran terbaru, mengangsurnya tiap bulan sambil merangkak, lalu digadaikan saat kekurangan dana, lalu dijual murah juga, lalu memilih yang baru lagi.