Setiap orang memiliki rasa kemanusiaan yang bila diukur, kadarnya akan berbeda-beda. Dengan kata lain tidak sama pada setiap individu. Rasa kemanusiaan itu bisa berupa kasih sayang, keprihatinan, empati, dan nilai-nilai manusiawi lainnya.
Hal semacam inilah yang menghujamku sepuluh tahun yang lalu. Khususnya rasa prihatin kepada seorang ibu muda yang baru saja melahirkan bayi keduanya. Sebut saja namanya ibu Amat. Saat itu, aku juga baru dua bulan melahirkan bayi keduaku.
Tempat tinggal kami berdekatan, karena aku tinggal di sebuah kontrakan kecil di sebelah rumah nenek Ani yang menjadi keluarga jauh ibu Amat. Sementara ibu Amat yang datang dari kampung dan sedang kesusahan, ditempatkan sementara di sebuah gubuk kecil yang dulunya berfungsi sebagai warung, tepat di depan rumah nenek Ani. Kalau mau dihitung-hitung, hanya sekitar sepuluh langkah dari teras kontrakanku.
Sebenarnya aku belum lama tinggal di sini. Baru sekitar sebulan, karena kontrakan yang lama terpaksa dijual oleh yang empunya. Jadilah kami pindah di blok sebelah, di sebelah rumah nenek Ani.
Nenek Ani adalah seorang janda tua dengan lima orang anak yang semuanya telah berkeluarga dan tinggal di rumah mereka masing-masing. Nenek Ani hanya ditemani adik angkatnya yang juga sudah sepuh, serta mbak Ani, suami dan anaknya yang masih bayi berusia tiga bulan.
Sesekali aku mengunjungi nenek Ani, sekedar mendengarkannya bercerita tentang masa-masa indah bersama almarhum suaminya dulu.
Aku terkesan, ternyata seorang suami yang baik akan selalu dikenang dan dibanggakan istrinya, sekalipun hanya di depan orang sepertiku.
Jelas tergambar rasa bahagia dalam binar mata nenek Ani, sekalipun masa-masa indah mereka sudah berlalu puluhan tahun. Tentang suami yang selalu perhatian dan memanjakannya dengan cara menemaninya ke pasar. Membelikannya selembar kerudung atau perabotan dapur ala kadarnya.
Sesederhana itu. Perhatian yang tulus, kasih sayang dan sifat sabar almarhum, agaknya telah merebut seluruh cinta sang istri pula.
Ibu Amat, terhitung jarang berbaur dengan nenek Ani maupun anggota keluarganya yang lain. Disamping cukup sibuk, kira-kira ia agak pemalu alias minder.
Berada di suatu tempat baru, memang menyisakan perasaan tak nyaman. Apalagi ibu Amat tiba dari kampung dengan niat memperbaiki perekonomian rumah tangganya.