Lihat ke Halaman Asli

Efek Samping Jurnalis

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adakalanya aku ‘menyesal’ menjadi jurnalis dan apalagi sarjana hukum. Menjadi jurnalis dituntut untuk selalu kritis. Menjadi sarjana hukum dididik hal serupa, peka dan tajam melihat persoalan serta dilengkapi keterampilan melakukan pembelaan.

Celakanya, karakter ini terbawa dalam kehidupan keseharian di luar tugas. Dan gara-gara itu, barangkali aku menjadi pribadi yang menyebalkan karena secara tidak sengaja acapkali menyanggah kata-kata lawan bicara. Aku tak pernah mengizinkan lawan bicaraku menggunakan kosa-kata yang tidak tepat dalam suatu konteks pembicaraan. Apalagi pemakaian kata yg salah itu bisa merugikanku…, he he.

Ingin sekali aku memaklumi karena bisa jadi ia tak sengaja dan mungkin tak bermaksud seperti makna dari kata yang ia gunakan. Tapi tetap saja aku merasa tidak terima dan selalu mengejar untuk meminta klarifikasi hingga tuntas. Kepedulian terhadap bahasa dan kepekaan atas pemakaian kata-kata berujung pada kebiasaanku gemar ‘bertengkar’ untuk mempertahankan suatu pendapat.

Di kantor, ada teman sekerja sesama jurnalis yang sering ceroboh memakai kata yang tidak tepat. Ia juga sering salah menulis dan melafalkan kata. Aku menjulukinya si dis-orientasi kata. Syukurlah ia tidak protes karena menyadari kekurangannya itu. Ia menyebut ‘inflasi’ dengan ‘inflansi’; ‘kadaluarsa’ dengan ‘kadarluasa’ dan banyak lagi ia melakukan penyimpangan kata termasuk penerapan kata dalam pembicaraan.

Kemarin, si teman ini baru saja kepleset menggunakan kata ‘tapi’ dan apesnya itu ketika ngobrol denganku.

“Eh tau ngga, dulu di UGM aku juga punya temen yang sangat nge-pink kayak kamu,”ia memulai cerita.

Aku menyimaknya dengan seksama sebagai sesama ‘pink lover’. Kata dia, teman kuliahnya itu selalu mengenakan segala sesuatu berwarna pink, dari pakaian, tas, sepatu dan segala aksesoris lain dalam penampilan sehari-hari.

“Dia itu miss pinky tapi pinter banget. Dia ambil kuliahnya teknik elektro,” ujarnya.

“Kenapa pake ‘tapi’?”protesku.

Temen ini masih terus nyerocos menjelaskan ini-itu tanpa memahami esensi kata ‘tapi’ yang aku persoalkan.

“Memang kenapa sih dengan ‘tapi’?” ia masih bertanya dalam ketidak-pahamannya.

“Kenapa kata sambungnya ‘tapi’? Emang para pinker itu umumnya bodoh? “tanyaku.

“Ehm…ya ngga gitu, kan biasanya cewek yang nge-pink itu manja.”

“Ngga ada hubungannya manja dengan tingkat kepintaran ya…pliiis deh :P.”

Tak ayal… tersulutlah perdebatan tentang kata sambung ‘tapi’ yang bermakna kontradiktif itu. Padahal, jelas-jelas ia seorang yang dis-orientasi kata, masih saja aku persoalkan.

Dan banyak lagi insiden perkelahian mulut akibat kesalahan berbahasa seperti ini karena aku tidak bisa berhenti mengkritisi. Kalau coba menahan diri,aku akan sangat tersiksa. Kedengarannya lebay ya? Tapi beneran…serius ini, he he.

Maka…pada para teman dan saudara serta handai taulan yang sering berinteraksi denganku, mohon maaf ya atas ketidaknyamanan yang timbul karena tabiat burukku itu, piiisss ^_^




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline