Baru-baru ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah memberikan rekomendasi kepada sembilan perusahaan calon eksportir benih lobster, menyusul dibukanya kran ekspor benih lobster melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 12/PERMEN-KP/2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp), tertanggal 5 Mei 2020.
Dengan demikian Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56/PERMENKP/2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) dari Wilayah Negara Republik Indonesia, dinyatakan tidak berlaku.
Sekarang benih lobster sudah bisa diekspor dengan beberapa ketentuan, tidak hanya berbekal rekomendasi KKP saja. Ada syarat lain yang perlu ditempuh, yaitu melakukan budidaya lobster di dalam negeri dengan melibatkan masyarakat atau pembudidaya setempat dan berhasil melakukan panen berkelanjutan, minimal sudah dua kali panen.
Syarat berikutnya harus melepasliarkan 2 (dua) persen lobster hasil panen di lokasi dimana benih lobster ditangkap atau lokasinya disesuai dengan arahan KKP.
Sehubungan dengan ketentuan tersebut, seyogianya semua benih lobster hasil tangkapan nelayan penting dicatat untuk bahan analisis tingkat pemanfaatan sesuai alokasi kuota yang ditetapkan KKP. Jangan sampai terjadi lebih tangkap.
Demikian juga dengan pengeluaran benih lobster, harus dideteksi, apakah benih lobster tersebut untuk ekspor atau untuk budidaya. Jika peruntukan budidaya, maka boleh berharap lobster hasil panen nanti dilepasliarkan di lokasi asal penangkapan. Hal ini perlu untuk mempertahankan kelimpahan lobster di alam. Namun tidak demikian halnya jika peruntukan ekspor.
Oleh karenanya pengelolaan sumber daya lobster harus transparan agar diketahui publik sebagai upaya pengawasan bersama. Terkait kuota penangkapan, berapa ekor benih lobster yang bisa ditangkap. Juga tentang nelayan mana yang memiliki izin menangkap benih lobster. Kemana tujuan pengeluaran dan peruntukan benih lobster. Eksportir mana yang mendapat rekomendasi KKP dan dimana lokasi budidayanya.
Sebaiknya pengembangan budidaya lobster diprioritaskan pada daerah yang tangkapan benih lobsternya relatif banyak atau masih dalam satu provinsi sehingga pelepasliaran lobster terkontrol. Tapi jika dibudidayakan di luar provinsi, maka pengendaliannya relatif sulit.
Sebagus apapun suatu kebijakan tidak akan efektif kalau tidak didukung masyarakat dalam menjaga kepatuhan aturan. Pelanggaran aturan akan terus terjadi, seperti penyelundupan benih lobster, dimana Singapura dan Vietnam diuntungkan dari benih lobster selundupan. Demikian juga pasca terbitnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 12/PERMEN-KP/2020, masih ada benih lobster yang hendak diselundupkan dengan nilai fantastis namun berhasil digagalkan aparat hukum.
Masalah ini pula yang menjadi kekhawatiran banyak pihak, yaitu terjadinya degradasi sumberdaya lobster di alam. Bisa jadi nelayan menangkap benih lobster melebihi batas akibat maraknya praktek penyelundupan.
Sesungguhnya untuk saat ini belum bisa melakukan ekspor benih lobster karena eksportir perlu waktu sekurang-kurangnya satu tahun dalam memenuhi kewajibannya tersebut.