Lihat ke Halaman Asli

Crowdfunding dan Hidup adalah Udunan

Diperbarui: 24 Juni 2015   16:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ada filosofi unik yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat di sebagian besar masyarakat suku Sunda. “Hidup adalah Udunan,” sebuah filosofi yang sangat mendasar dan umum yang diketahui oleh sebagian masyarakat tersebut. Udunan, dalam pengertian masyarakat luas di Indonesia adalah patungan.

Di lapisan masyarakat suku Sunda, istilah udunan tentu akan sulit untuk menemukan orang yang tidak mengetahuinya. Rasa persaudaraan yang tinggi sebetulnya menjadi pondasi akan lahirnya sifat ini. Tidak seperti pada suku-suku lain, orang Sunda biasanya jarang sekali hidup dalam perantauan. Di kota-kota kecil di Jawa Barat, kita akan menemui kelompok rumah yang terdiri dari seluruh anggota keluarga dalam satu wilayah yang membentuk sebuah perkampungan. Orangtua, anak, dan sanak saudara lainnya berkumpul membentuk sebuah keluarga besar yang tidak terpisah berjauhan.

Sebelum melanjutkan, ada baiknya penulis menjelaskan secara singkat mengenai cowdfunding itu sendiri. Awalnya, crowdfunding dimulai sejak abad 17. Dimana, saat itu ada seorang penulis yang hendak membuat sebuah buku dan mulai membuka informasi kepada masyarakat umum akan pembuatan buku tersebut. Selain ide, sistem donasi juga menjadi hal yang dipasarkan guna membiayai penerbitan dan berbagai prosesnya.

Pada tahun 1884, Komite Amerika untuk Patung Liberty kehabisan dana untuk membangun alas Patung yang terkenal di se-antero dunia. Adalah Joseph Pulitzer mendesak publik Amerika untuk menyumbangkan melalui pengiklanan di surat kabar New York World. Beliau mengumpulkan lebih dari $ 100.000 dalam enam bulan sejak iklan mengenai donasi untuk patung Liberty dimuat. Sekiranya terdapat 125.000 orang berkontribusi yang menyumbangkan uangnya sebanyak 1 dollar atau di bawah angka tersebut.

Sebetulnya banyak sekali contoh di luar sana yang mengaplikasikan sistem donasi massa. Salah satunya adalah Electric Eel Shock, sebuah band rock Jepang yang telah berkeliling dunia dengan pembiayaan hasil dari crowdfunding melalui fanbase mereka. Tanpa adanya kerjasama dengan pihak label, band tersebut secara independen berhasil mendunia berkat sistem ini. Setidaknya pada 2004 band ini telah mengumpulkan 10.000 poundsterling dari 100 fans mereka saja.

Di Indonesia juga banyak bermunculan kelompok-kelompok sosial yang menjalankan sistem crowdfunding. Seseorang atau sebuah organisasi datang mempresentasikan idenya, dan berbekal minat dan kepercayaan berusaha menggalang dana yang dibutuhkan untuk berjalannya proyek tersebut. Semua pihak yang berkontribusi kemudian akan diberikan penghargaan atau bahkan pembagian keuntungan, tergantung besar kontribusinya. Dengan terus berkembangnya teknologi internet, model pengumpulan dana seperti ini jadi semakin efektif.

Seorang dai muda yang fenomenal yang belakangan sering muncul di berbagai media, juga mulai menerapkan sistem patungan ke dalam jejaring bisnisnya. Menurut Yusuf Mansur, pendiri dari situs patunganusaha.com, menjelaskan bahwa selama ini, kita juga sudah “patungan” dalam bentuk apapun. Misalnya patungan bikin masjid, patungan beli mobil ambulancer, patungan bikin klinik atau rumah sakit gratis, patungan bikin pondok pesantren, patungan nanggung anak-anak panti. Lebih jelas, ustad Yusuf Mansur menyebutkan bahwa patungan sama dengan sedekah.

Di lain pihak, terdapat situs-situs lain yang memunculkan sistem crowdfunding sebagai senjata utama dalam membiayai ide-ide kreatif yang muncul namun memiliki keterbatasan dalam pendanaan. Sebut saja wujudkan.com, mari.patungan.net, serta bursaide.com. Beragam ide banyak bermunculan, mulai dari ide usaha udunan, investasi udunan, kegiatan sosial udunan, dan lain sebagainya. Asalkan dengan udunan (patungan, red) semua ide kreatif tersebut tidak mustahil untuk diwujudkan.

Suku Sunda merupakan etnis kedua terbesar di Indonesia. Sekurang-kurangnya 15,41% penduduk Indonesia merupakan orang Sunda. Sebagian besar memang memeluk agama Islam, namun masih ada juga yang memiliki keyakinan lokal seperti Sunda Wiwitan. Orang Sunda dikenal memiliki sifat optimistis, ramah, sopan, dan riang. Dalam masyarakat Sunda pada dasarnya hubungan antar-manusia harus dilandasi oleh sikap “silih asih, silih asah, dan silih asuh,” artinya harus saling mengasihi, saling mengasah atau mengajari, dan saling mengasuh sehingga tercipta suasana kehidupan masyarakat yang diwarnai keakraban, kerukunan, kedamaian, ketentraman, dan kekeluargaan.

Salah satu peribahasa lainnya dalam budaya Sunda adalah Bengkung ngariung bongkok ngaronyok yang artinya bersama-sama dalam suka dan duka. Pada beberapa paragraf sebelumnya, penulis mengulas mengenai sistem kekerabatan pada sebuah keluarga Sunda. Dalam pengalaman sehari-hari, penulis sering menemukan istilah “hidup adalah udunan” pada beberapa komunitas anak muda yang ada di Kota Bandung. Bukan tanpa sebab, alasan persaudaraan menjadikan slogan tersebut selalu diingat oleh setiap anggota komunitas. Suka dinikmati bersama, duka dipikul bersama. Membantu tanpa berharap balasan dan menerima bantuan dengan rasa segan.

Di ruang pendidikan, sering kita temui beberapa kalimat yang berisi manusia sebagai mahluk sosial. Dalam teks keagamaan pun beberapa ayatnya mengandung hal serupa. Jika ada seseorang yang terlihat sangat berhasil, tentu bukan tanpa orang lain dirinya mendapatkan kesenangan tersebut. Ada orang-orang lain yang dengan senang hati membantu dengan dasar hidup adalah udunan.

Hidup sebagai faktor sebab utama bagi manusia untuk bertahan di bumi. Tanpa kata tersebut, mungkin seluruh manusia menginginkan tidak dihidupkan sedari awal kelahiran. Senangnya di dunia ini selalu diselimuti rasa ketidakpuasan yang menyebabkan segala sesuatunya tidak membuat nyaman. Mau tidak mau, kebutuhan akan orang lain dalam hidup kita pribadi tidak mungkin terelakan. Suka tidak suka semuanya akan berelasi membentuk tatanan kehidupan dari hidup yang lebih luas. Untuk itu, ketimbang meningkatkan rasa persaingan tanpa dasar, lebih baik kita meningkatkan sikap HIDUP ADALAH UDUNAN.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline