Lihat ke Halaman Asli

Aiman Farizi Amaanullah

XI IPS 2 / SMAN 28 Jakarta

Cerpen: Haha..... Ha... Ha...........

Diperbarui: 25 November 2020   13:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Pertama kali aku melihat dia, aku memukulnya. Aku tahu bahwa aku baru saja memukulnya sampai dia terlempar dari meja yang cukup tinggi dan tidak membunuhnya. Jarak dia jatuh sama saja seperti aku terjun bebas dari puncak monas. Tapi aku tahu… dia selamat. Dia merupakan artropoda: dia memiliki kerangka yang keras di luar badannya. Dari semua ciptaan alam yang aneh dan indah, dialah yang dirumorkan mampu selamat dari kiamat. Dari singa, kupu-kupu raja, naga laut berdaun, bebek, dan bahkan manusia, mengapa pilih kecoak yang bertaburan penyakit untuk dapat selamat?

Aku ngekost di gedung yang mungkin sudah berumur 100 tahun, dimana makhluk-makhluk ini menjalankan labirin penyelundupan makanan mereka sendiri di antara kost-kostan. Aku perlu menjadi Samurai dalam seni perang kecoak untuk memusnahkan mereka dari tempat yang mereka dan aku panggil ‘rumah’.

Pertama… Aku berkonsultasi kepada Google mengenai cara melakukan insektisida terhadap mereka semua.

Disitulah aku, dengan pistol mendempul yang luar biasa besarnya, masker kimia, dan semua racun kecoak yang dijual di Indomaret. Aku menutup semua rute pelarian dan titik masuk, mendempul segala macam lubang, dari celah-celah yang menganga sampai ke lubang-lubang yang sekecil jarum, kegigihanku tak pernah mengecewakanku. Selanjutnya, aku mengebom makhluk-makhluk tersebut dengan persenjataan kimia yang tentunya legal. Akhirnya, aku menuangkan segunung bubuk asam borat di sekitar perpipaan leding. Aku meletakkan ranjau di tempat-tempat gelap dalam bentuk umpan kecoak plastik hitam.

Tiga minggu kemudian, puas bahwa semua kantung telur telah berhasil dihancurkan, aku menyatakan bahwa rumahku yang berumur 100 tahun ini, bebas dari kecoak. Hidup berjalan dengan baik, sampai tiga bulan kemudian, kecoak yang satu ini berani memunculkan kepala, dan badannya yang jelek di atas cerminku.

Malam berikutnya, aku melihat dia persis di tempat yang sama, posisi yang sama (tiga sentimeter dari ujung atas cermin, menghadap utara). Aku mengambil sapuku. Aku tahu bahwa hanya ada satu cara untuk membunuh kecoak secara instan. Crot. Bagian dalam harus keluar.

Aku memfokuskan penyusup yang tidak diinginkan itu di garis bidik sapuku. Aku mengambil sikap kuda-kuda. Dengan sapu kupegang setinggi langit, sampai menyentuh langit-langit rumahku. Maafkan aku, kecoak… Aku mengayunkan sapuku tepat di atas tubuhnya yang kecil dan menjijikan dengan kekuatan Hercules. Cerminnya bergetar dengan sekrupnya yang terlihat ingin copot dari cermin tersebut. Pukulan itu membuat suara yang sangat keras, sampai tetanggaku memanggil dari balik dinding. Aku mencari tanda-tanda mayat.

“YESSS!!! Kecoaknya mati juga akhirnya!!!! Oh, betapa senangnya aku, akhirnya rumahku benar-benar bebas DARI KECOAK!” teriakku, diiringi lagu ‘We Are The Champions’ dari Queen yang berputar di kepalaku.

“FUAHAHAHA-”

Namun pada saat itu juga… aku sadar. Bahwa pertarungan melawan kecoak itu hanyalah pemulaan dari perang dengan skala yang jauh lebih besar. Kupikir seperti itu sambil berdiri seperti orang dungu memelototi EMPAT ekor kecoak yang keluar dari belakang cermin.

“Haha….. ha… ha………..”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline