Lihat ke Halaman Asli

permulaan cerita perjalanan yang arif

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Angin mulai menuntun tanganku menuliskan kisah ini, walaupun menurut sebagian orang angin malam tidak baik bagi kesehatan, tapi bagiku justru membawa jutaan insprasi untuk menuangkan jutaan bahkan lebih kata-kata; walau hanya untuk sekedar berbagi rasa.

Sempat aku mengira hidup ini matematis, jadi semua dapat aku ukur dan aku rencanakan sesuai dengan rumus-rumus kehidupan seperti yang banyak dituliskan di buku-buku pengembangan diri, tentu dengan beranekaragam variabel yang digunakan, hingga aku tergiur dan jujur akau sedikit sombong setelah aku tahu. Aku yakin bahwa hidupku dapat ku tentukan hanya dengan apa yang ku tahu saat ini, dan tidak ada yang lebih tahu tentang diriku sendiri, kecuali aku dan Tuhanku.

Setelah sekian lama duduk kaku di bangku sekolah, kini aku bisa melanjutkan pendidikanku di sekolah kebebasan, di mana aku bisa belajar dengan tidur, duduk, berdiri, berlari,hingga aku terperosok jatuh di jurang di tengah hutan rimba belantara. Sebuah tawaran berwirausaha dengan modal sebatang korek api semangat dan tidak lebih dari lima lembar daun kering untuk dibakar, hingga membuat semangat ini menyala kembali.

Maklum, sebelumnya pernah jatuh hingga tidak ada sedikitpun keping-keping yang menjadi harapanku untuk merekonstruksinya kembali, naifnya, saat itu aku malah menganggap hidup ini dekonstruktif. Tidak ada yang dapat terulang kembali kedua kalinya; satu kali hidup hancur, dia tidak akan kembali, yang ada hal yang baru. Walaupun jujur harus kita akui kadang kita menemukan yang mirip di dunia ini; de javu, tetapi bagiku itu tidak lebih dari hasil acak genetika keidupan. Dimana basa nitrogennya adalah Agama (A), Ghirah/Semangat (G), Cinta (C), Tawakkal (T) yang terangkai doublehelix, diapit oleh Takdir.

Setelah manantang badai filsafat, hingga akhirnya aku terbelak kagum menikmati indahnya hidup. Banyak kenangan tempat dan persitiwa yang menyadarkan aku sebagai salah satu pewaris bumi, untuk mengelola, menjaga dan mengawetkannya. Melihat kondisi alamku kini mulai membuatku sedih teringat akan cucuku nanti. Alam yang membimbingku meraih semua ini memintaku kembali merawatnya; bahkan bukan hanya aku, tapi kita semua.

Jakarta, Surabaya dan Medan memaksaku merokok degan asap yang baunya sama sekali tidak aku suka, mengajariku bagaimana orang-orang dapat bersaing dengan ketat, dan bahkan bersikap loe-gue. Alam selalu berbisik pada kota-kota itu "dimana balas budimu padaku?” yang diirmakan dengan sejuta lagu.

Hingga pada saatnya, Hutan di Gunung Leuser, Gunung Gede Pangrango, Telaga Warna, Cikepuh, Tuanan-Palangkaraya, Kutai Kertanegara, Samarinda, Ternate, sampai Halmahera berbisik ”masih ada harapan, lestarikan kami dan kawan-kawan kami yang lain, sebelum nafaspun jadi barang jual beli”.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline