Jamak kita ketahui pendidikan merupakan ujung tombak dalam keberhasilan pembangunan nasional untuk menciptakan sumber daya manusia yang unggul dan kompetitif, oleh karena itu kualitas pendidikan harus senantiasa ditingkatkan dari waktu ke waktu sesuai dengan kemajuan zaman. Berdasarkan data Bappenas pada tahun 2021, dalam rangka meningkatkan kualitas Pendidikan di Indonesia pemerintah mencanangkan program yang akan diimplementasikan pada tahun 2020-2024 yang berfokus pada penguatan peran guru terhadap pelaksanaan assesmen hasil belajar siswa serta implementasi hasil penilaian sebagai perbaikan dalam pembelajaran, Upaya peningkatan ini akan direalisasikan oleh direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan melalui program Pendidikan Profesi Guru baik pra jabatan maupun dalam jabatan.
Hal ini merupakan langkah konkrit yang dilakukan oleh Dirjen GTK sebagai kepanjangan tangan dari Kementerian Pendidikan, kebudayaan, Riset dan Teknologi sebagai upaya meningkatkan kompetensi dan profesionalitas calon guru dan guru demi mewujudkan Indonesia emas 2045. Hal ini bukan hanya mengejar target dari Dirjen GTK untuk mencapai 98,54% guru pada tahun 2030 yang harus memiliki setifikat pendidik, namun yang lebih penting daripada itu adalah kebermaknaan prosentase tersebut dalam implementasi kompetensi dan profesionalitas guru di lapangan dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran
Tingginya tuntutan profesionalitas diranah pendidikan serta kurangnya kompetensi guru, berkaitan dengan prevelensi terjadinya stres yang dialami (Febriantina et al., 2020). Kemudian munculnya anggapan bahwa kurangnya kesadaran guru untuk meningkatkan kompetensi diri yang ditandai dengan kurang melibatkan diri, kurang antusias terhadap pekerjaannya, tidak mengekspresikan dirinya secara fisik, kognitif dan emosional selama menjalankan perannya merupakan salah satu permasalahan (Rugiyanto, 2018). Survei terhadap 758 partisipan, yang terdiri dari guru sekolah menengah laki-laki (286) dan perempuan (472) dari 33 provinsi di Indonesia, melalui hasil analisis regresi linier menunjukkan bahwa stres kerja berdampak negatif terhadap kesejahteraan psikologis guru (F ₌ 314,9, p < 0,05, dan R² ₌ 0,239) (Rangkuti et al., 2024). Sedangkan hubungan signifikan ditampilkan antara self efficacy guru dengan kesejahteraan psikologis guru (Gündüz, 2022). Yang artinya semakin baik tingkat self efficacy pada guru maka semakin baik pula kesejahteraan psikologis guru. Selain itu yang tidak kalah penting adalah self efficacy pada guru dalam mencapai tujuan pembelajaran yang telah direncanakan.
Self efficacy merupakan istilah yang dipopulerkan oleh Albert Bandura dan diyakini sebagai elemen penting dalam teori kognitif sosial, bahwasannya Bandura mendefinisikan self efficacy yaitu merupakan keyakinan individu mengenai kemampuan dirinya dalam melakukan tugas atau tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil yang spesifik (Bandura, 1977). Dalam hal ini, self efficacy atau efikasi diri merujuk pada keyakinan individu secara psikologis yang berdampak pada rasa percaya diri pada guru (Kustyarini, 2020). Teori kognitif sosial memegang peranan penting bagi guru untuk memahami bagaimana cara individu untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan perilaku melalui interaksi sosial. Berdasarkan temuan literatur modern, beberapa penelitian telah membuktikan hubungan signifikan antara self efficacy terhadap kepemimpinan guru dan performa guru dalam kegiatan pembelajaran (Akman, 2021). Kemudian, perilaku kepemimpinan guru dapat mendukung proses pembelajaran profesional secara signifikan mempengaruhi kualitas pengajaran dan pengembangan institusi (Hallinger et al., 2017).
Untuk mengatasi kebutuhan terkait profesionalitas guru diranah pendidikan Pemerintah melalui program Pendidikan Profesi Guru (PPG) berupaya menyiapkan guru yang kompeten secara utuh, diantaranya memiliki kemampuan melaksanakan pembelajaran secara inovatif dan menyenangkan, kemampuan berfikir kritis, pemecahan masalah, kreatif, dan memiliki kemampuan dalam berinovasi (Maryani, 2022). Namun adanya anggapan yang termuat pada Bappenas, (2021) yang menyebutkan bahwa sertifikasi guru tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap hasil pembelajaran. Yang artinya anggapan ini perlu dibuktikan dengan survei terkait self efficacy. Berdasarkan kondisi ideal terhadap self efficacy pada guru, menjadi penting untuk melakukan survei terhadap tingkat self efficacy pada guru pasca program Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang dilaksakana oleh Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar tingkat self-efficacy pada mahasiswa PPG Pra jabatan di Universitas Negeri Malang. Penelitian dalam bentuk survey ini dilakukan pada bulan Agustus tahun 2024 dengan menggunakan instrumen angket yang terdiri dari 33 pertanyaan yang diadaptasi dari naskah National Association for Sport and Physical Education (NASPE) dan telah dilakukan uji validitas dan realibilitas pada setiap butir instrumen yang telah diberikan dengan menggunakan google form. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 44 responden yang merupakan mmahasiswa PPG Pra jabatan Universitas Negeri Malang dengan menggunakan teknik accidental sampling. Terkait hasil penelitian, self efficacy yang diukur memuat mengenai tujuh aspek utama seperti efikasi pengetahuan konten pendidikan jasmani, efektivitas penerapan pengetahuan ilmiah, kemampuan mengakomodasi perbedaan tingkat keterampilan, keterampilan inklusif, keefektifan instruksi, efikasi penggunaan instrumen penilaian, dan efektifitas penggunaan teknologi.
Hasil penelitian menunjukan bahwa aspek efikasi pengetahuan konten pendidikan jasmani, dengan arah positif sebesar 54.5% sedangkan pada arah negatif sebesar 45.5% hal ini menandakan bahwa guru cenderung memiliki pengetahuan yang cukup tentang konten pendidikan jasmani. Kemudian pada aspek efektivitas penerapan pengetahuan ilmiah, dengan arah positif sebesar 79.5% sedangkan pada arah negatif sebesar 20.5% yang artinya secara teoritis guru memiliki pemahaman yang baik tentang konsep-konsep ilmu olahraga. Pada aspek kemampuan mengakomodasi perbedaan tingkat keterampilan, dengan arah positif sebesar 47.7% sedangkan pada arah negatif sebesar 52.3% yang menandakan bahwa guru cenderung kurang bisa untuk mengakomodasi perbedaan kemampuan belajar peserta didik. Pada aspek keterampilan inklusif, dengan arah positif sebesar 22.7% sedangkan pada arah negatif sebesar 77.3% yang menandakan bahwa guru kurang dapat memberikan akomodasi yang sesuai untuk peserta didik dengan disabilitas. Pada aspek keefektifan pemberian instruksi, dengan arah positif sebesar 50.0% sedangkan pada arah negatif sebesar 50.0% yang artinya guru cukup mampu untuk memberikan instruksi secara efektif pada peserta didik. Pada aspek efikasi penggunaan instrumen penilaian, dengan arah positif sebesar 81.8% sedangkan pada arah negatif sebesar 18.2% yang artinya guru memiliki efikasi yang sangat baik untuk penggunaan instrumen penilaian. Dan pada aspek efektifitas penggunaan teknologi, dengan arah positif sebesar 68.2% sedangkan pada arah negatif sebesar 31.8% yang artinya penguasaan keterampilan teknologi cukup dikuasai oleh guru.
Dari pemaparan hasil penelitian yang telah dijabarkan di atas dapat disimpulkan bahwa dari tujuh aspek utama yang di survey tingakat self-efficacy nya terdapat 5 aspek yang cenderung memiliki tren positif yaitu aspek efikasi pengetahuan konten Pendidikan jasmani, aspek efektivitas penerapan pengetahuan ilmiah, aspek keefektivan pemberian instruksi, aspek efikasi penggunaan instrument penilaian dan aspek efektifitas penggunaan teknologi. Hal ini menunjukan dari kelima aspek tersebut memiliki tingkat efikasi yang baik. Namun yang perlu diperhatikan ada dua aspek efikasi yang cenderung memiliki tren negatif yaitu aspek efikasi mengakomodasi perbedaan tingkat keterampilan dan aspek efikasi keterampilan inklusif. Dari data tersebut dapat menunjukan bahwa responden yang notabene adalah calon guru kurang memiliki keterampilan untuk mengakomodasi perbedaan tingkat kemampuan peserta didik dan tidak mampu mengakomodir peserta didik dengan disabilitas. Hal ini dapat dijadikan rujukan untuk memberikan atensi khusus dalam pengembangan kurikulum PPG berikutnya agar aspek mengakomodasi perbedaan tinkat kemampuan peserta didik dan mengakomodasi peserta didik dengan disabilitas dapat ditingkatkan kompetensinya, hal ini demi mewujudkan Pendidikan yang bukan hanya berpihak pada peserta didik namun juga inklusif
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H