Lihat ke Halaman Asli

Ia Memperdengarkan Suara Merdunya

Diperbarui: 17 April 2018   09:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

HARI ketiga. Ia siap memperlihatkan kegigihannya lagi. Pagi buta ia sudah berdiri di depan rumah itu. Ia tidak tahu apakah penghuninya sudah bangun atau belum? Namun, dalam pengembaraannya di tempat ini ia mendengar si ibu adalah wanita saleha yang taat beribadah. Salat lima waktu baginya segalanya. Jadi, bisa dipastikan si ibu sudah bangun.

Ia nekad. Ia memperdengarkan suara merdunya dengan maksud mengundang si ibu. Benar saja, tidak lama kemudian si ibu membuka pintu dalam, berjalan ke arah teras rumah, dan sampai ke pintu gerbang. Untuk melihatnya yang kali memperlihatkan senyum manisnya.

"O... kamu. Giih banget kamu, lagi lagi datang dan datang lagi. Dua anak ibu belum bangun. Nanti ya. Atau sejam kemudian ke sini lagi," kata si ibu, ramah.

Ia tidak mengangguk. Tidak menggeleng. Ia diam saja. Maklum, ia tengah terpesona dengan ucapan halus si ibu. Baginya ungkapan si ibu adalah jalan keluar dari kegigihannya. Ia yakin sebentar lagi ia akan menjadi bagian dari keluarga itu sesuai impiannya.

Namun, ia terlintas dengan keadaan si bapak di rumah itu. Apa sudah bangun? Atau tidak pulang karena kesibukannya bekerja? Ia tidak berani menanyakan kepada si ibu. Ia sudah cukup puas si ibu tidak menghardiknya seperti ibu-ibu lain yang penuh kekhawatiran terhadap anaknya dan ia menjadi sasaran kemarahan.

Ia mencoba mengerti. Ia pun diam-diam beranjak pergi. Untuk kembali sejam lagi.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline