Semakin tinggi nilai sesuatu, maka ia semakin abstrak. Penulis memulai tulisan ini langsung pada poin kesimpulan. Premis menyusul. Agak laen memang.
Nyatanya demikian. Jika Anda fokus mempelajari suatu bidang ilmu, baik ekonomi, pendidikan, hukum, politik, kedokteran, terus didalami, didalami, didalami, maka ujung-ujungnya Anda akan tiba pada filsafat. Baik filsafat ekonomi, filsafat pendidikan, filsafat hukum, ataupun yang lainnya. Sementara sifat filsafat itu abstrak (untuk tidak mengatakan mengawang-awang). Walhasil, makin tinggi sesuatu, makin abstrak. Adalah salah alamat jika Anda kuliah S2 atau S3 untuk mengejar sesuatu yang "konkrit". Mencari kerja misalnya. Tidak heran jika hari ini banyak Doktor-Doktor lulusan S3 dengan mutu yang rendah. Ya karena disorientasi sejak awal.
Pun jika kita cermati rukun iman. Dari rukun iman yang enam, cuma satu yang kasat mata: iman kepada kitab-kitab Allah. Selebihnya abstrak semua. Hari kiamat abstrak. Rasul abstrak. Malaikat abstrak. Kamu pernah ketemu Rasul atau Malaikat? Sangat abstrak. Bahkan Allah adalah Maha Abstrak; Maha Ghaib.
Sebagian besar manusia, mungkin termasuk penulis, total memusatkan tujuan hidupnya pada sesuatu yang bersifat konkrit, matrealis, empiris, kasat mata; jabatan yang tinggi, kekayaan, mobil mewah, popularitas, prestasi tinggi, dlsb. Sah-sah saja. Hanya saja, suka atau tidak suka, semuanya level rendah. Rapuh. Sementara, jika suatu kebahagiaan dibangun di atas pondasi yang rapuh, biasanya tidak akan lama. Pagi hari Anda ketawa-ketiwi, sorenya Anda menangis sesenggukan. Bulan ini Anda riang gembira, bulan berikutnya bermuram durja. Demikian seterusnya. Ini mengingatkan kita pada firman Allah SWT dalam surat Al Ankabut ayat 41:
مثل الذين اتخذوا من دون الله اولياء كمثل العنكبوت اتخذت بيتا وان اوهن البيوت لبيت العنكبوت لو كانوا يعلمون
"Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling rapuh ialah rumah laba-laba, sekiranya mereka mengetahui"
Ayat tersebut memiliki makna yang mendalam. Jika diurai, tidak akan selesai tujuh hari tujuh malam. Poinnya adalah jangan pernah kita membangun kebahagiaan di atas pondasi yang rapuh. Semu. Temporer.
Kehidupan materi ini rapuh. Bilapun ia membawa kenikmatan, itu kenikmatan sesaat yang di baliknya tersimpan kesedihan mendalam. Orang yang tidak memiliki ketajaman batin, dipastikan ia akan terpesona dengan kemewahan dunia ini. Dia tidak sadar, di balik kemewahan tersebut ada kepiluan yang sedang mengintai. Soal waktu saja; sooner or later. Anda boleh percaya. Tidak pun tidak apa-apa.
Meminjam kalimat dalam Ihya Ulumiddin: "Kalian ini semuanya buta! Maukah kalian kubikin melek?" Itu kalimat menohok dari Al Ghazali. Kalimat yang menampar kita semua. Kalimat yang didasarkan atas pengalaman panjang beliau. Betapa selama ini kita terjebak dalam orientasi hidup yang rapuh. Orientasi yang mendegradasi nilai kemanusiaan itu sendiri.
Kehidupan yang bersifat materi itu penting. Wong kita manusia adalah makhluk fisik. Butuh sandang, pangan, papan. Jika kita total berabstraksi, maka kita akan hidup dalam halusinasi. Tidak baik juga. Jika demikian apa artinya kita diutus Allah ke muka bumi?