Ada sementara orang yg mengajukan pertanyaan cukup provokatif. Mengapa agama itu seperti orang dagang? Melakukan kebaikan ini diiming-imingi insentif ini. Melakukan keburukan itu diancam dgn punishment itu. Ada surga, ada neraka.
Dalam pada ini harus dijelaskan bahwa agama itu adalah ajaran yg diperuntukkan bagi semua kalangan; untuk semua segmentasi. Bukan cuma utk kaum "terdidik". Maka dibutuhkan bahasa tersendiri agar bisa dicerna.
Janji surga neraka misalnya. Keduanya digambarkan sebagai sesuatu yg bisa diinderawi dan bersifat konkrit; kebun, sungai, taman, api, dll. Itu karena tidak semua orang bisa berabstraksi. Tidak pula semua orang mengenal kegembiraan lewat kontemplasi. Perlu bahasa yg membumi. Jika kita mau melihat agama dari dimensi yg lebih "canggih", ya baca saja Misykatul Anwar misalnya, atau buku2nya Ibnu Sina, Ibnu Arabi, Mula Sandra, dll.
Satu hal yg perlu dicatat, dlm banyak kitabnya, Al Ghazali konsisten membela keimanan orang awam yg nalarnya sederhana. Yaitu orang-orang yg menikmati kesyahduan beragama tanpa argumentasi ini dan itu. Bahkan adakalanya keimanan orang awam ini lebih tinggi daripada para sarjana. Ingat, dalam satu hadits terkenal, nabi mengatakan bahwa mayoritas penghuni surga adalah orang awam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H