Lihat ke Halaman Asli

Lansia Nyeri Sendi? Yuk Kenali Penyakit Gout Arthritis (GA)

Diperbarui: 18 Januari 2023   18:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Sumber: iStock.com)

Lansia merupakan akronim dari lanjut usia, bisa dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia (Keliat, Budi Anna, 1999 dalam Maryam, Siti, dkk, 2008). Berdasarkan Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa lansia merupakan seseorang yang usianya telah mencapai >60 tahun. Tahap dewasa merupakan tahap tubuh mencapai titik perkembangan yang maksimal. Setelahnya, tubuh akan menyusut akibat proses degeneratif (menurunnya jumlah sel-sel yang berada dalam tubuh). Sebagai dampaknya, tubuh juga akan mengalami penurunan fungsi secara perlahan. Hal tersebutlah yang disebut dengan penuaan. Penuaan atau proses terjadinya tua merupakan suatu proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi serta memperbaiki kerusakan yang diderita (Constantinides, 1994) dalam (Sya'diyah, 2018).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa jumlah penduduk lansia telah meningkat dari 18 juta jiwa (7,6%) pada tahun 2010 menjadi 27 juta jiwa (10%) pada tahun 2020. Angka tersebut diprediksi akan terus meningkat menjadi 40 juta jiwa (13,8%) pada tahun 2035. Hasil proyeksi ini berpotensi menjadi masalah bagi negara yang mengharapkan bonus demografi di tahun 2030, yaitu ketika penduduk usia produktif (15 - 64 tahun) lebih banyak dibandingkan usia non produktif. Baik negara maju maupun berkembang masing-masing memiliki tantangan yang sama dalam menghadapi peningkatan jumlah kelompok lansia yang cenderung meningkat secara progresif. Berdasarkan pernyataan diatas, maka dapat dikatakan bahwa semakin bertambahnya jumlah lansia maka makin bertambah pula angka morbiditas dalam Penyakit Tidak Menular (PTM) yang berpotensi dapat dialami oleh mayoritas lansia dengan masalah kesehatan. 

Salah satu penyakit tidak menular tertinggi kedua setelah hipertensi adalah penyakit sendi, yaitu Gout Arthritis. Gout arthritis atau yang lebih dikenal dengan sebutan "Asam Urat" ini merupakan suatu proses inflamasi yang terjadi karena deposisi kristal asam urat pada jaringan sekitar sendi yang terjadi akibat dari peningkatan serum asam urat yang berlangsung lama (menahun). Hal tersebut terjadi sebab penumpukan purin atau eksresi asam urat yang kurang dari ginjal. Penyebab gout arthritis yaitu adanya reaksi inflamasi jaringan terhadap pembentukan kristal monosodium urat monohidrat sehingga penyakit ini dikategorikan ke dalam golongan penyakit metabolik. Kejadian gout arthritis di masyarakat dunia cukup besar sehingga menjadi pusat perhatian bagi masyarakat khususnya yang menimpa lansia. Prevalensi gout arthritis di United States mencapai 3,9%, di Eropa mencapai 2,5%, dan di Indonesia berdasarkan penelitian (Putra, dkk) menunjukkan prevalensi hiperurisemia mencapai 1,45%, lalu menurut penelitian (Ahimsa, dkk) menyatakan angka prevalensi gout arthritis yang sangat tinggi terdapat pada Etnis Sangihe di Minahasa Utara yaitu sebesar 29,2% (Hidayat, 2022).

Menurut pendapat dari Perhimpunan Reumatologi Indonesia (IRA, 2018) menyatakan bahwa secara umum gout arthritis lebih sering ditemukan pada jenis kelamin pria dibandingkan wanita dan angka kejadiannya akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Perjalanan penyakit gout arthritis diklasifikasikan dalam 4 fase, yaitu:

  • Fase Hiperurisemia Asimptomatik, yaitu dimana tidak adanya tanda gejala dari pengidap, namun ketika memeriksakan kadar asam urat serum akan menunjukkan hasil kadar serum asam urat yang tinggi.
  • Fase Gout Arthritis Akut (flares), yaitu menunjukkan tanda gejala nyeri, pembengkakan, dan kemerahan pada kulit baik diarea tertentu atau seluruh tubuh (eritemia) yang disebut dengan serangan episodik. Fase ini akan memuncak dalam kurun waktu <24 jam, kemudian akan terjadi resolusi maksimal dalam aktu 14 hari. Serangan pada fase akut dapat terulang kembali, biasanya serangan berulan terjadi setelah 6 bulan hingga 2 tahun sejak serangan pertama. 
  • Fase Interkritikal, yaitu fase berulang yang setelah serangan pertama terdapat interval antarserangan dengan gejala asimptomatik (gejala tidak terasa).
  • Fase Kronik, yaitu fase ketika gout arthritis tidak diobati secara komprehensif yang menunjukkan gejala berupa perubahan bentuk pada kaki atau kondisi kelaiann bentuk  secara anatomi yang menyebabkan struktur tulang berubah bentuk (deformitas sendi) dan benjolan yang berisi kristal-kristal asam urat (thopus) pada pengidapnya

(Sumber: iStock.com)

Tenaga kesehatan di Indonesia sudah mencoba upaya peningkatan kualitas hidup lansia dengan penyediaan layanan kesehatan posbindu serta pendidikan kesehatan terkai penyakit gout arthritis terhadap masyarakat khususnya lansia. Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2018) merekomendasikan penanganan non farmakologi optimal dengan perubahan gaya hidup bagi pengidap gout arthritis, yaitu:

  • Diet. Hindari makanan yang mengandung tinggi purin (ampela ati, jeroan, serta ekstrak ragi). Batasi konsumsi makanan daging sapi, kambing, babi, makanan laut tinggi purin (sardine, kelompok shellfish seperti lobster, tiram, kerang, udang, kepiting, skalop). Hindari alkohol dalam bentuk bir, wiski, dan fortified wine yang dapat meningkatkan serangan gout. Kemudian fruktosa yang terkandung dalam corn syrup, pemanis pada minuman ringan dan jus buah juga dapat meningkatkan kadar asam urat serum. 
  • Konsumsi Vitamin C, dairy product rendah lemak seperti susu dan yogurt rendah lemak, cherry dan kopi mampu menurunkan risiko serangan gout.
  • Pasien dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) Overweight harus melakukan modifikasi pola makan untuk memiliki berat badan ideal
  • pasien harus terhidrasi dengan baik dengan minum air mineral >2 liter perhari
  • Latihan fisik sedang harus dilakukan, hindari latihan berlebihan yang berisiko meningkatkan trauma sendi

Penanganan non farmakologis berbasis bukti yang telah dilakukan oleh perawat berdasarkan penelitian (Sari et al., 2022) tentang gout arthritis salah satunya adalah dengan memberikan terapi kompres hangat jahe merah, dengan tahapan sebagai berikut:

  • Parut jahe merah
  • Panaskan air lalu menuangkannya ke baskom kemudian tunggu hingga hangat
  • Celupkan waslap/handuk kecil dalam air baskom
  • Letakan parutan jahe merah diatas waslap
  • Angkat waslap dan kompreskan dibagian sendi yang nyeri selama 20 menit
  • Lakukan tindakan sebanyak 2x perhari

Jahe merah memiliki kandungan orelasin yang bersifat anti radang atau anti inflamasi guna meredakan nyeri salah satunya gout arthritis. Dapat disimpulkan bahwa terapi non farmakologis kompres hangat jahe merah berpengaruh dalam menurunkan nyeri sendi akibat kerusakan jaringan (sendi). Dengan demikian penting kiranya bagi masyarakat mengenali penyebab dan cara penanganan penyakit gout arthritis yang menjadi isu kesehatan di Indonesia guna meminimalisir angka morboditas dalam kesehatan lansia.

Referensi 

Hidayat, R. (2022). Penyakit Asam Urat: Apakah Berbahaya? Kementrian Kesehatan RI.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline