Lihat ke Halaman Asli

Ayda Nur Haliqa

Mahasiswi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Benarkah Feminisme Dianggap Gerakan dari Luar yang Tidak Islami?

Diperbarui: 14 Juli 2024   20:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi dari Google dan Blog d'Fun Station

Feminisme merupakan suatu gerakan atau kegiatan perempuan yang memperjuangkan keseimbangan dan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki guna mencapai persamaan hak dan kesetaraan bagi semua gender. Dalam esainya "Feminists, Women, and the Feminine" (1991), Toril Moi berpendapat bahwa feminitas adalah seperangkat karakteristik yang ditentukan secara budaya, feminisme adalah posisi politik dan feminitas adalah biologis. Karenanya, feminitas adalah realitas biologis. Kemungkinan terjadinya menstruasi, persalinan atau menyusui sedikit banyak dapat dianggap sebagai "takdir" yang tidak dapat diubah.

Sementara itu, femininitas dan gender adalah konstruksi sosial budaya yang diatribusikan kepada perempuan. Konstruksi sosial yang diciptakan manusia membuat femininitas dan gender pun tidaklah ajeg, dapat berubah-ubah. Apa yang dianggap "feminin" bergantung pada siapa yang mendefinisikannya, tempat orang-orang itu berada, dan apa yang telah mempengaruhi hidup mereka. Ideologi yang menyadari ketimpangan konstruksi ini kemudian mengarahkan dirinya kepada perubahan atas ketimpangan, inilah yang disebut feminisme.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan perempuan mengalami ketidakadilan dan kesenjangan dalam kehidupan sosialnya. Pertama, adanya perbedaan gender dalam penafsiran teks agama. Kedua, budaya patriarki yang  kurang lebih sudah diyakini masyarakat sejak lama. Ketiga, sistem kapitalisme mengarah pada eksploitasi  perempuan (Zulaikha, 2016). Faktanya, selain budaya dan adat istiadat, masih ada faktor "agama" yang memperkuat kesenjangan gender (Luthfiyah, 2015).

Banyak orang menganggap feminisme bertentangan  dengan Islam. Melihat kembali sejarah, feminisme pertama kali lahir di Inggris pada  tahun 1792 melalui buku "A Vindication of the Rights of Women'' karya  filsuf Inggris Mary Wollstonecraft. Singkatnya, buku ini membahas partisipasi politik yang timpang antara laki-laki dengan perempuan.  Dalam buku tersebut, terdapat kutipan unik yang menginginkan adanya kesetaraan gender, terbukti pada kalimat " Telah tiba waktunya untuk mempengaruhi sebuah revolusi melalui cara perempuan. Telah tiba waktunya untuk memulihkan kewibawaan perempuan yang telah hilang". Dalam Islam, feminisme tidak hanya berbicara tentang hubungan antar manusia, tetapi juga tentang hubungan antara manusia dan Penciptanya. Oleh karena itu, feminisme Islam erat kaitannya dengan al-Quran dan hadits sebagai landasan filosofis umat Islam.

Al-Ghazali dalam bukunya "Qadaya al-Mala Bayna al- Takaalid al-Raqida wa al-Wafida" menyatakan bahwa diskriminasi yang dialami perempuan dalam Islam pada hakikatnya ditegaskan bahwa hal tersebut bukan disebabkan oleh budaya dan adat istiadat yang dipertahankan. Sifat masyarakat yang patriarki dan beberapa peraturan hukum merupakan sumber atau penyebab ketidakadilan terhadap perempuan tersebut. Bagi para feminis yang menuntut kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, gerakan mereka tidak hanya membentuk sejarah pembangunan tetapi juga cara untuk bertahan hidup.

Pula dalam firman-Nya, Al-Hujarat ayat 13 telah dijelaskan yang berartikan, "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu". Maka, tampaklah bahwa tidak ada inferioritas atau superioritas antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain, atau antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain, dalam penciptaan laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan adalah makhluk yang sama-sama dimuliakan oleh Allah SWT. 

Periode terpenting di dunia Barat dalam kaitannya dengan aktivisme feminis adalah dari tahun 1780 hingga 1790. Kaum feminis banyak menulis pada saat itu. Selain itu, dari tahun 1960 hingga 1970, kaum feminis memobilisasi kaum perempuan untuk ikut hak pilih dalam pemilihan umum. Pada awal abad ke-20, feminis mengadopsi pendekatan yang lebih beragam, inklusif, dan modern (Ida Hidayatul Aliyah, Siti Komariyah, 2018).

Selanjutnya, firman Allah Al-Imran ayat 195 juga menambahkan bahwa di mata Allah semua perbuatan manusia adalah sama tanpa membeda-bedakan gender. Ayat ini berbicara tentang hamba-hamba Tuhan yang menaklukkan seluruh langit dan bumi, bermeditasi dan meminta pertolongan untuk memperoleh pengampunan dosa dan melepaskan diri dari siksa neraka. Merenungkan dan memahami misteri, berbagai wujud rahmat dan hikmah yang mengungkapkan kebesaran, kekuasaan, ilmu dan rahmat Sang Pencipta (As-Zuhayri, 2016).

Oleh karena itu, tidak ada perbedaan kemanusiaan dan derajat antara laki-laki dan perempuan, dan Tuhan tidak mengurangi pahala yang diberikan kepada orang yang melakukan amal shaleh yang sama. Agaknya, umat Islam memerlukan interpretasi feminisme yang mendalam, pemahaman yang melegitimasi nilai-nilai kemanusiaan dan lebih memperhatikan nasib perempuan. Dengan memahami secara lebih manusiawi, perempuan dapat meningkatkan kualitas dirinya menuju lahirnya peradaban manusia yang lebih baik.

Referensi:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline