Lihat ke Halaman Asli

Ayda Nur Haliqa

Mahasiswi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Benarkah Laki-laki Insecure dengan Strata Sosial Pasangannya?

Diperbarui: 12 Mei 2024   19:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar diambil dari laman berita Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Siapa pernah mendengar ujaran seperti ini, "Apa yang lebih seram dari setan? Ya, mulut lelaki patriarki."

Mungkin tak jarang kita melihat penyebab gagalnya pernikahan pasangan muda ialah persoalan strata sosial. Laki-laki yang merasa superior dan ingin dianggap sebagai provider bagi pasangannya seolah tabu bagi beberapa perempuan. 

Mengapa hal tersebut menjadi faktor signifikan yang menghalangi sebuah relationship melangkah ke jenjang yang lebih serius? Pertimbangan yang sangat matang tentunya menggugah sanubari pihak pria. 

Berdasarkan informasi yang saya dapat, dua dari tiga pria terwawancara yang saya jumpai di pelataran tugu Monumen Nasional (Monas), DKI Jakarta pagi tadi (12/05), menyetujui narasi yang tertuang dalam judul berita ini.

"Saya lebih suka perempuan menjadi ibu rumah tangga juga istri yang baik sedangkan saya mencari nafkah untuk mereka. Saya sengaja mencari istri bukan dari keluarga berada atau berpendidikan bagus supaya dia patuh dan berguru hanya kepada saya. Kebetulan saat itu istri saya didesak untuk segera menikah di umurnya yang tidak muda lagi," tutur AF atas tanyaan terkait "benarkah laki-laki insecure dengan strata sosial pasangannya?"

Saudara NZ yang berusia sekitar 35 tahun menambahkan,

"Biarkan saja perempuan yang mengurus kerapian dan kebersihan perlengkapan rumah, menyusui anak, membersihkan popok anak, melayani saya, saya yang laki-laki bekerja untuk beli beras dan makanan anak-anak di rumah. Perempuan tidak usah bekerja," begitulah pungkas NZ kiranya. 

Mengapa tampaknya beban domestik hanya ranah khusus perempuan yang tidak seharusnya dimasuki laki-laki? Tentu ideologi patriarki yang sangat mengedepankan kepentingan laki-laki, mengagungkan nilai-nilai maskulin, dan di waktu bersamaan mengesampingkan kepentingan perempuan dan merendahkan nilai-nilai feminin.  

Berbeda dari dua pria sebelumnya, RG mengatakan bahwa, "Justru saya lebih senang mendapatkan pasangan yang setara dengan saya. Saya akan mendukung penuh pasangan saya untuk melanjutkan studinya atau bahkan tetap bekerja jika sebelum menikah dengan saya ia sudah bekerja. Karena sekolah pertama anak adalah ibu, yang banyak waktu di rumah, selagi saya bekerja dengan istri saya yang berlatar pendidikan baik, saya berharap keturunan saya juga dididik dan cerdas seperti ibunya. Saya rasa itu sudah risiko jika ingin mendapatkan pasangan yang baik maka saya juga harus memantaskan diri seperti tipe pasangan yang saya inginkan," pungkas salah satu mahasiswa universitas Islam tersebut.

Mengapa perempuan dianggap lebih diterima jika menjadi laki-laki dibandingkan laki-laki menjadi perempuan? Dalam artian, perempuan boleh bekerja di luar rumah dan tetap mengerjakan pekerjaan rumah, tetapi laki-laki tampak "rendah" ketika melakukan pekerjaan rumah. Akhirnya, beban yang menumpuk di pundak perempuan membuat mereka tidak bisa menjadi "sempurna" dalam bidang apa pun, sehingga imbalan atau kasih sayang terhadap perempuan sangat minim.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline