Lihat ke Halaman Asli

Prostitusi Ada, Karena Laki-laki Ada

Diperbarui: 26 Agustus 2015   23:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menurut beberapa peneltian wanita memilih jalan hidup menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) dipengarui beberapa faktor. Fakor-faktor tersebut di antaranya adalah, faktor ekonomi, putus cinta atau broken home, lingkungan teman dan hubungan sosial, hasrat seks yang berlebihan, tertipu oleh rayuan atau janji manis mucikari yang katanya hendak mencarikan kerja yang pantas dan gajinya besar.

Selain faktor-faktor di atas sebenarnya ada faktor lain yaitu masalah pemahaman  agama yang lemah. Namun faktor ini jarang diungkap oleh para peneliti, padahal ini faktor yang paling dominan.

Dalam setiap penelitian yang mengugkap tentang PSK, juga ditemukan bahwa pada diri pelacur sebenarnya ia menyadari perbuatannya adalah bertentangan ajaran agama yang dianutnya, dan sadar kalau jalan hidup yang dipilh itu salah serta menimbulkan banyak resiko. Kebanyakan PSK selalu dihantui perasaan bersalah dalam mengambil keputusan, karena mereka hanya berpikir satu arah saja. Misalnya yang berkaitan dengan faktor ekonomi, ia ingin cepat kaya dengan cara yang mudah untuk merayu laki-laki yang berduit, ia pesimis akan kemampuan dirinya sendiri dalam hal pekerjaan.

Jual Beli Seks

Lepas dari faktor penyebab terjadinya pelacuran atau prostitusi seperti yang disebutkan di atas, tulisan ini akan melihat sisi lain dari penderitaan pelaku wanita pelacur.  Ia mempunyai beban psikologis,  karena dihukum secara moral oleh masyarakat. Pelacur adalah sampah masyarakat, racun dunia dan perusak rumah tangga orang lain.

Pertanyaannya mengapa Wanita Tuna Susila (WTS) yang dipojokkan menjadi orang terhina atau dikambinghtamkan sebagai orang yang tidak suci dan sampah masyarakat? Mengapa tidak Laki-laki Tuna Susila (LTS) yang juga ikut disebut pelacur? Dan juga mengapa LTS tidak ikut menanggung beban moral atas tindakan pelacuran tersebut?

Penyebutan prostitusi atau pelacuran menjadi ciri penanda bagi wanita nakal, wanita tuna susila yang hidup dalam kegelapan dunia. Wanita nakal yang tidak mengerti nilai kesusilaan yang mestinya harus dijunjung tinggi. Perjalanan hidup pelacur seolah tanpa pegangan tali dan rambu-rambu agama, hingga akhirnya ia berjalan  ke dunia yang sangat gelap gulita.

Oleh para ahli kejiwaan, tentu menolak kalau dampak psikologis yang negatif hanya ditujukan kepada wanita saja. Padahal terjadinya pelacuran terbentuk karena dua orang yang melakukan. Ibarat jual beli, wanita yang menjajakan dan laki-laki yang membelinya. Jadi keduanya adalah pelacur. Tidak adil kalau pelacuran, wanita yang dikambinghitamkan, atas hukuman moral bernilai jahat dari masyarakat.

Laki-laki Pelacur

Dalam perspektif spiritual, wanita pelacur tetap meyakini atas fitrah kesucian batinnya untuk mengakui, kalau yang dijalani dalam kegelapan tersebut ada titik noda dosa atas Tuhannya. Dan itulah sebenarnya, pengakuan batin wanita penjaja seks yang terus bergejolak batinnya dalam sepanjang hidupnya. Siapa yang harus menolong, untuk mengentaskan agar dosa wanita pelacur tidak terus berkepanjangan? Jawabnya adalah semua laki-laki yang bermoral, laki-laki yang beragama dan laki-laki yang tidak mengumbar hawa nafsu seks yang tersalur di sembarang wanita.

Paparan di atas, memberikan satu pemaknaan bahwa pelacur ada, karena adanya laki-laki yang bejat, yang tidak pernah menghargai wanita sebagai makhluk yang bermartabat. Munculnya nama pelacur dijulukkan pada wanita, itu karena ada laki-laki yang juga tuna susila. Laki-laki yang tidak tahu tata aturan susila, sehingga merusak pager ayu yang mestinya harus dijaga dan dilindungi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline